Hujan
baru saja usai menitihkan perihnya, Suara gemercik gerimis masih sempat
terdengar dari atap kamar kost yang terbuat dari seng ini. Suara jangkrik
melengking keras dari depan kamar kost yang dipenuhi dengan bunga dan tiga batang
pohon pisang yang salah satunya masih memiliki jantung pisang. Televisi itu
masih menayangkan film hantu jantung pisang, yang sudah kesekian kalinya saya
lihat “ada ada saja film horor jaman sekarang,
mendingan jantung pisangnya dimasak”. Masih teringat sindiran tante saya
saat menonton film ini”.
Tok
tok. Tok tok.. Suara itu tiba tiba muncul dari pintu kamar kost saya yang
berwarna coklat gelap, dan sebagian tripleksnya sudah terkelupas. Saya masih
sibuk memasak telur yang baru saja saya pecahkan dan tidak menghiraukan suara
ketukan itu karena kebetulan minyak pada wajan teflon sudah panas. Berulang
kali suara ketukan itu berlalu dengan sangat cepat, hingga akhirnya suara
tubrukan keras tiba tiba terdengar menggeletuk dari balik pintu kamar kost saya.
Karena
sedang sibuk memasak untuk santap malam
dan telur masih setengah masak saya akhirnya memutuskan untuk menuju pada suara
tubrukan itu, siapa tahu ada helikopter yang dikemudikan oleh tuyul yang masih
belajar dan jatuh pas depan pintu kamar.
Saya masih berjalan dengan membawa wajan teflon yang berisi telur setengah
masak itu.
Kusentuh
gagang pintu yang masih sangat dingin karena menyesuaikan dengan suasana hujan.
Kutarik secara perlahan hingga terdengar suara menciut. Mencoba menengok keluar
kamar dan tercium bauh lumpur yang masih basah, tiba tiba muncul dalam benak
saya “Jangan jangan bau ini adalah bau hantu yang bangkit dari lumpur karena
kebanjiran” tapi, karena sudah menghayal sejauh itu tiba tiba saya dikagetkan
dengan wajah gelap yang ditutupi dengan jubah hitam mirip batman.
“Astagfirullah,,
tuyulnya benar benar ada, rasakan telur goreng ini” Terasa digerakan oleh
ketakutan, tangan kanan saya yang memegang
wajan teflon itu tiba tiba mengayungkan telur yang masih setengah masak
kearah wajah gelap yang berada didepan pintu.
Dengan
tingkah gelagapan, mahluk gelap yang berbau lumpur itu langsung mengusap
wajahnya. Mungkin karena kepanasan atau karena merasa bau dia akhirnya menyalakan
senter yang sedari tadi digenggamnya kearah wajah yang penuh dengan ceplokan
telur berwarna kuning itu. Kondisi seperti ini membuatku semakin takut karena
sinar dari senter itu tepat didepan wajahnya hingga dia menyerupai kuntilanak
yang baru keluar dari salon.
“Stop,
ini saya Heril. Berhentilah melakukan tingkah aneh itu lagi”. Akhirnya mahluk
aneh itu berbicara dan menyampaikan aspirasinya. Memang setiap kali saya
ketakutan, pasti memanfaatkan peralatan yang bisa dijangaku oleh tangan saya
untuk melindungi diri, dan salah satu korbannya adalah Heril.
Karena
malam itu jum’at kliwon yang katanya angker, saya selalu berfikir negatif
tentang kejadian aneh yang terjadi sekecil apapun itu. Lihat saja Heril
semenjak dia terkena ceplokan telur tadi, dia menjadi lebih sering diam dan
memandangi setiap foto yang ada disekitar ruangan kamar saya. Pandangannya
terhenti pada foto yang terpajang tak jauh dari pintu kamar ini. Foto seorang
kakek tua yang sedang menghisap rokok yang terbuat dari tembaga ini sempat saya
abadikan saat perjalanan kerumah teman dua minggu yang lalu. Dilihat dari
tampangnya, kakek itu cukup rupawan dengan janggot dan kumis yang sudah memutih
ditambah alis yang melengkung keatas pada bagian ujungnya.
Heril
terus memandangi foto itu sambil memegang boneka detektif conan yang diambilnya
dari atas meja kecil yang berada dibawah foto itu. Pandangannya semakin dalam
sambil sesekali memiringkan kepalanya kekanan lalu kekiri seolah mencari celah
negatif dari foto itu. “apa yang sedang dipikirannya” tanyaku dalam hati sambil
membuat ceplokan telur untuk makan malam lagi. Sekarang porsi telurnya saya
buat lebih banyak dengan niat berbagi dengan Heril.
Seolah
kakinya memiliki lem sehingga dia tidak beranjak dari lantai berwarna biru itu.
Memang saya juga suka memandangi foto yang penuh misteri itu, mungkin karena
foto itu saya ambil dari salah satu suku yang tinggal di hutan angker yang ada
di sebuah desa kecil di kabupaten Maros, tapi bukan berarti misteri hutan
angker itu mengikuti foto ini, sehingga siapapun yang menatapnya seakan tak
ingin berhenti memandanginya.
Sekarang
bukan lagi Heril yang memiringkan kepalanya, tapi foto itu tiba tiba ikut
miring kekanan. Tidak hanya miring foto itu juga bergetar dan tiba tiba
bergerak kekiri lagi. Foto kakek itu bergerak dan langsung mengeluarkan suara
krekkk,,, krekkek. Sampai berulang kali seolah menertawakan Heril.
Mata
heril melotot dan sekujur tubuhnya menjadi kaku. “Na’ Na Nawirrr. Fotonya
bergerak” teriak Heril dengan lengkingan suara tajam. Karena ceplokan telur
kedua itu masih berada ditangan saya, akhirnya saya menghampiri Heril dengan
harap dia tidak apa apa.
Tak
tahu apa yang harus dilakukannya, karena sudah sangat ketakutan Heril yang
berwajah pucat dan mengeluarkan keringat dinginnya, kembali melakukan kebiasaan
buruknya. Mengeluarkan suara dari dalam celana dan sepertinya suara itu
terjepit. Ditambah bau yang menyengat itu membuat saya kaget dan merasa
terganggu, akhirnya kembali saya melemparkan ceplokan telur itu kewajah Heril.
Saya
tidak tahu apa yang sudah saya lakukan kepada Heril karena saya juga kaget
melihat foto itu tiba tiba bergerak. Heril yang sudah hampir kabur dari kamar
mencoba membela diri kalau bukan dirinya yang kentut. Padahal setiap kali ada
masalah bau, pasti dia yang dituntut sebagai tersangka utama.
Kembali
kepada misteri foto itu, saya dan Heril memutuskan untuk kembali memerhatikan
foto yang sudah agak miring dari posisi awalnya. Krekek kekek... tiba tiba keluar
dua ekor cicak besar yang baru saja memadu kasih. Ternyata bukan foto itu yang
menakutkan tapi ada cicak dibalik foto itu.
“Kamprett!!
Heheheh dasar kamu penakut”
“Dasar
kamu tukang kentut, sama cicak saja takut apalagi sama ceplokan telur” hehehe.
Wassalam
Terima kasih..
#cerita ini jadi kontributor dalam buku antologi cerpen horor komedi "Ketika Mereka Menyapa"
EmoticonEmoticon