Sinopsis Film Rembulan Tenggelam Di Wajahmu - dari Novel Tere Liye

14:22 1
Jangan menilai isi film hanya dari judulnya. Judul film ini terdengar sangat bucin. Tapi, yang ditayangkan pada part satu adalah kebalikannya. Misi mencuri gelang di gedung berlantai 40 itu salah satu adegan menarik yang cukup memperkuat serial aksi pada film ini. Saya selalu takjub dengan novel novel karya Tere Liye. Salah satu Karya best seller beliau ini kembali diangkat kelayar lebar. Tapi saya masih selalu berharap semua karya beliau dijadikan film agar syiarnya semakin luas, tidak hanya tersampaikan kepada pembaca tapi kepada semua orang yang notabenenya saat ini lebih suka menonton daripada membaca (riset pribadi, hehe). Kenapa saya mengharapkan itu, karena karya bang Darwis Tere Liye ini san
gat sarat akan makna dan disampaikan dengan sentuhan moral yang dalam, karena berkaitan langsung dengan kehidupan.

Malam ini,  Senin 16 Desember 2019 sebuah film “Rembulan Tenggelam di Wajahmu” meruntuhkan rasa penasaranku. Setelah melihat beberapa  trillernya di instagram saya langsung mendaftarkannya ke list movie yang dianjurkan untuk ditonton. Meskipun kali ini tidak ditemani sang istri tercinta karena sedang hamil tua (baca:delapan bulan). Sound bioskop yang bising tidak sehat untuk janin yang sedang dikandungnya, makanya dia sedang kupuasakan nonton bioskop.
Oke, Langsung saja ke cerita yang dipaparkan di awal adegan yaitu Raihan yang sudah tua dan berbaring lemah di sebuah rumah sakit yang tirai jendelanya terbuka menampakkan cahaya rembulan yang langung menerpa wajahnya. Suasana yang selalu disukai Rei (nama panggilan untuk Reihan). Tiba Tiba muncul seorang pria yang tidak Rei kenal menawarkan untuk menjawab lima pertanyaan yang selama ini selalu menggerogoti hati Rei. Orang itu mengulurkan tangan ke Rei dan menyambutnya. Tiba tiba ia berada disebuah pelabuhan dan seorang anak remaja berlari kepadanya serta menabrak tubuhnya. ia Kaget, karena sekarang ia hanya sebuah bayangan dan tidak terlihat oleh orang lain. 

Pertanyaan Pertama : Kenapa tuhan menitipku dipanti ini (Kenapa tuhan menitipku di lingkungan ini)

Anak remaja yang berlari itu adalah Rei ketika masih tingal dipanti Asuhan tidak jauh dari pelabuhan. Ia berlari setelah berhasil mencuri kue dari jajanan buka puasa seorang ibu ibu kaya yang mengenakan gelang emas. Diar, Sahabat Rei, sesama anak panti yang pekerjaan sehari harinya adalah menjaga Toilet yang berada di salah satu tepi pelabuhan tersebut menerima kue hasil curian Rei, meskipun dia teriak haram, tapi keinginannya untuk makan kue enak meruntuhkan keyakinan “haram”nya. Dari hasil curiannya, Rei sering berbagi ke Diar. Karena hanya Diar Sahabatnya di panti itu. 

Disuatu malam, Bapak panti yang terkenal kejam melabrak anak anak panti yang hendak makan. Ia marah dan menggebrak meja, bapak panti menanyakan pelaku yang memutus tasbih kesayangannya yang penuh sejarah. Diar gemetaran, karena dia yang melakukannya. Tapi karena Rei tidak tega jika Diar yang harus kena pukul, dia menyatakan bahwa dirinyalah yang melakukan pemutusan tasbih tersebut. Akhirnya bapak panti memanggilnya masuk ke ruangan dan memukulnya dengan keras, sembari anak anak panti yang lain mendengar suara  pukulan tersebut dengan rasa takut dan iba, setelah itu, dia dilempar keluar rumah, sedang diluar tengah hujan deras. Rei tidak diperbolehkan tidur didalam rumah. Diar membawakan makanan sisa dari anak anak panti yang lain dan disantap lahap oleh Rei yang sudah sangat kelaparan. Tidak hanya itu, perlakuan keras dari bapak panti pun semakin sering dilakukan, hingga membuat Rei frustasi dan melakukan perbuatan terlarang (mencuri uang dan makanan dari donatur yang disimpan diruangan bapak panti, yang tidak pernah dibagi kepada anak anak panti dari hasil itu dia ikut berjudi).  

Hidup yang keras membuat Rei selalu bertanya kepada dirinya “Kenapa tuhan menitipku dipanti ini?” Dia sering menyuruh Diar menanyakannya kepada tuhan saat diar mengajaknya untuk sholat. Rei memutuskan untuk kabur dari panti dan hidup disebuah kapal dipelabuhan, karena tidak tahan dengan perlakuan bapak panti yang  berwatak keras dan selalu menyalah gunakan sumbangan dari donatur. Hingga Akhirnya pertanyaan Rei tentang kenapa tuhan menitipkannya di pantai itu terjawab ketika Dia kehabisan uang untuk mengikuti perjudian, dia menghampiri Diar yang hanya seorang penjaga toilet untuk meminta uang. Sayang, karena Diar tidak memberikannya, dia mencuri uang disaku celana yang digantung oleh salah seorang pengunjung toilet. Tapi karena ketahuan, akhirnya Rei melemparkan pakaian tersebut ke Diar. Sembari berlari, Diar yang panik juga ikut berlari hingga akhirnya warga yang mendengar teriakan “Ada pencuri” ikut mengejar Rei dan Diar. Karena Diar larinya tidak begitu cepat akhirnya dia yang menjadi sasaran amukan massa. Diar babak belur dan masuk rumah sakit, dan dijaga oleh bapak panti. 

Esok paginya, Di rumah sakit yang sama, Rei masuk rumah sakit karena telah ditikam oleh penjahat suruhan lawan main Rei yang kalah di meja judi. Tidak disangka, ternyata disitulah masa masa sekarat Diar, ia sudah tidak kuat lagi menahan sakit. Sambil memegang tangan bapak panti, dengan lirih dia mengatakan “Selamatkan Rei pak, Bukan dia yang memutus tasbih bapak,tapi Diar paak, Tolong selamatkan Rei”. 

Tidak lama kemudian, Diar menghembuskan nafas terakhirnya dan dijemput ratusan malaikat. Diar selalu menganggap bahwa Rei adalah pahlawannya. Dari aksi saling melindungi dari kedua anak ini, berhasil meluluhkan hati seorang bapak panti. Dia Insyaf, dan menyadari semua kesalahannya, ia tidak melakukan perbuatan memanfaatkan sumbangan donatur lagi. bapak panti tidak ingin kehilangan keduanya, akhirnya dia juga merawat Rei sampai pulih total dan membawanya ke kota besar. Ke rumah singgah. Disini pertanyaan kedua Rei akan terjawab.

Pertanyaan kedua : Apakah Hidup ini adil ?
Rumah Singgah, diisi oleh anak anak yatim juga. Bedanya, ditempat ini penghuninya lebih bebas berkreasi dan ditempa keahliannya. Rei bertemu dengan si kembar ode dan oda, Lukman yang jago melukis dan Nathan teman mengamen Rei  yang memiliki suara Emas. Disini mereka punya tempat ternyaman diatas atap yang menampung cahaya rembulan. Mereka Lebih leluasa menatap rembulan dan bermain dengan cahayanya. “Pemandangan di tempat ini tidak terbeli”. Disini tempat Nathan sering latihan bersama teman temannya, dan tempat Lukman belajar melukis. 

Hari berganti hari dan Rei menjalani kehidupan seperti anak anak lainnya di rumah singgah ini. Dia mendapatkan tempat baru untuk menatap rembulan setelah pelabuhan yaitu diatas menara air. Dia sering memanjat sendiri ke atas menara itu sembari merenungi “Apakah hidup ini adil?” Seorang pemuda tertarik melihat Rei karena kelincahannya memanjat menara walaupun sedang hujan dan tangga besinya licin. Sebut saja bang ple’. Bang ple’ menanyakan hal, kenapa Rei begitu mudah memanjat menara itu, Rei hanya mengatakan “Aku tidak takut saja”. Bang Ple’ Adalah pencuri kelas kakap yang nantinya akan bermitra dengan Rei.

Pada suatu hari, Rei menemukan Lukman yang menangis di tepi jalan, karena lukisan yang hendak dia bawa ke pembeli disobek oleh preman. Emosi Rei memuncak dan mendatangi komplotan preman tersebut. Rei mengamuk dan menghajar semua preman tersebut hingga akhirnya menimbulkan dendam diantara mereka. Dendam pun berlanjut, ketika preman kembali menyerang di suatu malam sehabis Rei ngamen. Rei kewalahan menghadapi para preman itu dan bang Ple’ datang membantunya. Ini kekalahan kedua yang dialami para preman itu.  

Karena selalu mengalami kekalahan. Preman tersebut mencari cara lain untuk menyakiti Rei, yaitu dengan menyerang teman temannya. Hari ini Nathan akan tampil di TV karena berhasil lolos mengikuti audisi bernyanyi. Hari yang ditunggu tunggu itupun tiba. Diperjalanan menuju lokasi pentas, Nathan,Ode, Oda dan Lukman dicegat dan dianiaya oleh preman preman itu lagi. hal tersebut membuat Nathan Lumpuh dan kerusakan pada pita suaranya. Rei kembali naik pitam melihat penderitaan Nathan dan dia berhasil membunuh salah seorang dari preman tersebut. Atas kasus tersebut, Rei menjadi buronan, dan bersembunyi di markas bang Ple’. Disitulah ia ditempa untuk menjadi seorang pencuri kelas kakap. Dan tidak pernah kembali lagi kerumah singgah, karena menganggap bahwa dirinya hanya akan membahayakan teman temannya. 

Misi Rei dan bang Ple’ adalah mencuri berlian yang berada di salah satu ruangan gedung berlantai 40. Sayang, pada aksinya kali itu polisi dengan sigap mengagalkan aksi mereka. Meskipun mereka berhasil kabur, dan berhasil membunuh dua petugas, Rei terkena tembakan polisi di pahanya. Bang Ple’ dengan sigap melakukan operasi ringan untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di paha Rei. Setelah Rei tidak sadarkan diri. Bang Ple memungut, potongan koran yang terjatuh dari saku Rei, potongan koran itu selalu dibawa Rei kemanapun dia pergi. Koran tersebut berisi tentang berita kebakaran yang menimpa salah satu lokasi di pinggiran kota yang menyebabkan Rei menajadi yatim piatu. Dan pelakunya adalah bang Ple’ ketika ia masih bergelar sebagai penjahat kelas ikan teri.

Hal tersebut membuat bang Ple terpukul dan menyesali semua perbuatannya, ternyata anak yang ikut dengannya adalah anak korban rumah yang dia bakar. Ia menyerahkan diri ke kepolisian sebagai bentuk pertanggung jawaban atas semua dosa yang dia lakukan. Sebelumnya ia menembak paha kanannya untuk lebih menyakinkan polisi, bahwa pelakunya memang benar dia karena terkena bekas tembakan di paha kanannya, persis seperti yang dialami Rei. Hingga delapan bulan kemudian setelah melalui proses persidangan bang Ple dijatuhi hukuman mati. 

Adapun dengan Nathan yang kehilangan pita suaranya dan membuatnya lumpuh seumur hidup membuatnya banting stir, dari seorang pengamen menjadi seorang pencipta lagu. Lukman yang lukisannya pernah di sobek oleh preman, kemudian menjadi seorang pelukis terkenal, dia juga selalu menganggap bahwa Rei adalah pahlawannya. Salah satu lukisannya tentang keindahan cahaya bulan seharga ratusan juta dibeli oleh Rei (Dewasa) ketika sudah memiliki kantor sendiri (Pada adegan film, Rei sudah dewasa dan memiliki perusahaan sendiri). Jika saja saat itu preman tersebut tidak menyobek lukisan Lukman, dan lukman tetap membawanya ke pembeli, mungkin dia akan mendengar kata kata hinaan dari pembeli lukisan karena memang lukisannya masih belum mumpuni dan hal tersebut bisa saja menghilangkan rasa percaya dirinya. Tapi tidak, tuhan selalu maha adil. Dia maha mengatur segalanya, segala apa yang sedang terjadi dan akan terjadi dengan hambanya. Akhirnya pertanyaan kedua Rei terjawab. 

Adapun pertanyaan ketiga, keempat dan kelima tidak dibahas dalam film part satu ini. Katanya karena bang Tere liye tidak ingin kehilangan pesan pesan yang harus disampaikan, dan filmnya akan sangat panjang jika digabung dalam satu kali tayang.  Alasan lain, kenapa dibagi menjadi dua part karena film yang disutradarai oleh Danial Rifki ini memiliki dua genre yang berbeda, katanya di part dua akan lebih ke family home. Sepertinya, judul akan lebih mantul di part dua ini. Kata bang Ody Mulya, produser film ini, part dua insya allah akan tayang pada bulan maret tahun 2020. Kami tunggu bang.   

MENEPIS RASA - BAB II - KETIKA AYAH PULANG

14:06 1
Sore itu hujan belum reda. Rintiknya masih seperti jarum yang menusuk bumi. Anehnya, bumi bahagia karena kejatuhan jarum itu. Bahagianya ditandai dengan tumbuh suburnya pepohonan dan berbagai tanaman yang berpijak padanya. Sama seperti perasaanku saat ini, senang sekali rasanya. Hari ini ayah pulang, kembali memupuk kebahagiaan di keluarga kecil kami. Aku, mamah dan Sul-adikku akan menjemput ayah dibandara. Diantar oleh paman Jamal yang memang seorang supir mobil lintas daerah. Jalanan yang saat itu masih banyak genangan air disikat habis olehnya.
Aku begitu bersemangat sore itu. Kubatalkan janji dengan Fira, untuk bermain bola volly di lapangan dekat masjid. Meskipun sebentar ayah pulangnya kerumah. Rasanya akan beda jika langsung menjemputnya di bandara. Menyambut kedatangannya dengan senyum terbaikku.
“Ayah akan tiba, aku dan Sul akan mempunyai ayah baru, yakan mah?” Mamah kaget. Segera kuluruskan, “Maksudnya dengan wajah baru ayah tahun ini. Kan dia baru pulang setelah setahun meninggalkan mamah”. Mamah senyum. Sepertinya dia juga telah sangat menantikan lelaki hebat dalam hidupnya selain ayahnya. Sama sepertiku saat ini aku akan kedatangan lelaki hebatku, yang menyematkan nama Triani yang begitu lekat ketika orang yang baru mengenalku, memanggilku dengan sebutan itu.
Sesampainya di bandara, suasana hilir mudik penumpang dan pegawai bandara terlihat ramai lalu lalang dari sudut barat hingga timur bergerak ke tujuan masing masing. Sibuk sekali aktivitas orang-orang disini. Setelah kupastikan keadaan sekitar, pandanganku sekarang hanya tertuju ke pintu kedatangan. Kuamati satu persatu wajah orang orang yang baru saja turun dari benda yang bisa terbang itu, tapi tak kunjung kutemukan wajah yang kukenali. Aku hanya berharap menemukan sosok lelaki yang begitu kurindukan. Ayah. Tiba tiba saja keluar dari pintu kedatangan dengan tangan yang dibebat perban. Nah, itu dia lelaki yang kunantikan itu.
Mengapa ada luka ditangan ayah? Apakah dia baru saja berkelahi dengan petugas pemeriksa koper itu lagi? Seperti yang dilakukannya sewaktu pergi dulu? Kurasa tidak, lukanya cukup parah, dan itu tidak nampak seperti luka setelah berkelahi. Setelah lebih dekat, ibu segera memeluknya, begitupun aku dan Sul. “Ani, mengapa engkau menangis?” Tanya ayah setelah ibu memeluknya singkat, dan segera melepasnya karena menyadari banyak orang disekitarnya. Ibu tidak menjawab, karena ia tahu pasti ayah mengerti itu adalah tangis haru setelah sekian lama mereka menahan rindu.
Sekarang giliranku, aku yang biasanya mengacungkan kepalan tangan berbentuk tinju kepada ayah saat bertemu, saat ini terkendala karena tangan ayah dibungkus perban. “Tangan ayah hebat, pasti telah memukul penjahat lagi kan? Semoga bukan petugas pemeriksa koper itu lagi yang ayah pukul. Ia pasti akan lari terbirit birit melapor ke satpam”. Teringat saat ayah berangkat dulu ia bermasalah dengan petugas koper karena seorang muslimah bercadar yang ikut mengantri didepannya dipaksa untuk membuka cadarnya. Ia disangka teroris. Ayah marah karena ia menganggap oknum petugas tersebut tidak memberi kenyamanan kepada calon penumpang. Muslimah tersebut bersikeras untuk tidak membukanya. Ayahku yang jago bela diri segera melakukan aksinya yang heroik. Menantang Petugas itu, setelah pertarungan yang tidak memakan waktu terlalu lama petugas itu kalah dan segera mengerang ampun pada ayah. Ternyata setelah introgasi oknum petugas tersebut sangat tertarik kepada muslimah bercadar yang kecantikannya terpancar dari rona dan bulu matanya yang sangat anggun. Sedang petugas koper tersebut baru saja ditinggal pacarnya, ia mengira mantan pacarnya yang menyamar agar tidak dikenali olehnya. Aneh!. Saat itu kusadari pahlawan sejatiku ini memang hebat.
“Tangan ayah kena tembak saat ayah melawan teroris di papua, katanya teroris itu mau menyerang Tria di sini, makanya ayah lawan” Ungkap ayah dengan membusungkan dada dan memukulnya dengan tangan kirinya yang sehat sehat saja.
“Ayah memang pahlawan Triani yang paling hebat. Aku bangga sama ayah” Kembali kupeluk ayah dengan pelukan eratku yang sengaja kuberi tenaga.
“Uhhhh sakit,,, tangan ayah kenapa dijepit lagi” Ayah mengerang kesakitan.
“Maaf maaf, yahh, Tria tidak sengaja” Belaku meminta maaf.
“Tambah kuat saja kau ini,sepertinya bakat samson ayah sudah menular sama anakmu ini mah” kode ayah ke mamah sambil memberikan tentengan kantongan yang berisi oleh oleh.
Ayahku memang orang yang kuat, ia ahli dalam bela diri, kata mamah dia sering diutus mewakili kabupaten tempat tinggalnya untuk mengikuti lomba bela diri silat di tingkat provinsi. Tapi sayang sekali ayah tidak pernah ke tingkat nasional karena kandas dikalahkan oleh tim dari kabupaten lain yang terkenal lebih hebat dengan silatnya. Tapi bagiku ayah tetap pahlawan keluarga bukan pahlawan nasional, ia telah melindungiku ibu dan Sul dari jeratan penjajahan kelaparan. Karena ia adalah tulang punggung keluarga kami dan telah totalitas melaksanakan kewajiban dengan sebaik baik caranya.
Saat ini ia sedang bekerja di perusahaan tambang emas, yang ada diujung timur Indonesia. Ia bekerja disana sejak aku masih di sekolah dasar. Sebelumnya ia hanya seorang petani yang berkewajiban membiayai keluarga dari hasil garapan cangkulnya. Ia sangat menyenangi pekerjaan bercocok tanam. Tapi melihat kondisi keluarga yang masih saja kekurangan. Ia mencari solusi dengan mencoba mendaftar di salah satu perusahaan tambang yang pada saat itu sedang membuka lowongan. Om Khaidir sahabat ayahku yang mengabarinya. Memberinya kesempatan untuk memperbaiki nasib keluarga. Alhamdulillah sejak saat itu keadaan keluarga kami semakin membaik. Sejak ayah bekerja, Om Khaidir juga masih sering bersilaturahmi kerumah bersama istri dan Anaknya (kak Ibnu) . Kak Ibnu sering kuajak bermain bola bersama teman temanku dilapangan, sampai badan berlumuran lumpur. Dan mamah sering mengomeliku karena baju yang dikenakan Ibnu jadi kotor. Meskipun begitu, masih saja kuulangi, karena kak Ibnu memang suka bermain bola.    
Kebetulan ayahku adalah lulusan STM yang saat ini sudah berubah menjadi SMK. Ia seorang petani tapi ahli di bidang mesin. Makanya sepedaku yang sudah kupakai sejak kelas tiga SD sering dia service ketika rusak hanya dengan satu kali kedipan mata. Cepat sekali.  Ia juga tak segan segan mengajariku memegang  kunci kunci. Berusaha menularkan bakatnya kepadaku dalam bidang bela diri dan reparasi, dan aku mulai terbiasa dengan itu.
“Apa - Apaan, anak gadis kenapa disuruh perbaiki sepeda” Protes mamah kepada ayah saat ketahuan sedang mengajariku.
 Ayah hanya senyum dan membela “Biar anakmu bisa mandiri!”
Aku terlalu kagum melihat banyak perempuan yang bekerja disawah, menjual sayur dengan menggunakan sepeda, menjual jamu gendong, supir angkot bahkan tukang tambal ban yang buka ditepi jalan poros yang sering kulalui pun seorang perempuan. Mereka hebat sekali.
Aku dengan segala keluguanku sering memaksa ayah membawaku dengan sepeda ontelnya menonton pertandingan sepakbola di lapangan yang berjarak lima kilometer dari rumahku.  Jarak yang bila dijabarkan melewati tiga dusun, satu pasar dan beberapa ladang persawahan. Aku sangat senang menyaksikan permainan sepakbola meskipun aku seorang perempuan, aku ingin menjadi pemain sepakbola wanita pertama dari kampungku. Aku ingin jadi pahlawan yang berbeda dengan perempuan lainnya yang hanya bisa mempercantik dirinya lalu berjalan dengan tubuh seksinya melintasi pasar pasar, mengundang teriakan penonton untuk menggodanya. Aku ingin menjadi pahlawan karena ketangkasanku melawan kebatilan.
Ketika ayah kelelahan mendayuh sepeda ontelnya, aku biasanya langsung loncat mengambil posisi kuda kuda untuk membelikannya minum. Uang jajan yang diberi ibu aku habiskan untuk membeli es serut lalu kuberikan satu kepada ayah.
“Ayah capek Triani, bisa kamu gantikan ayah mengayuh sepedanya?” pinta seorang ayah kepada anak gadis yang baru berusia sepuluh tahun.
            “Bisaaaaa .... yah” Teriakku lantang. Aku memang suka itu. Kakikku yang harus dibuat kuat agar bisa menjadi pemain sepak bola yang kuat. Aku yang mengayuh sepeda dan ayah yang menyetir. Sebuah kerjasama yang penuh dengan kekompakan. Saat - saat itu yang selalu aku rindukan kala ayah pergi ke pulau paling ujung Indonesia. Konon katanya orang orang disana kadang tidak bersahabat dengan pendatang. Dan itu yang sering membuatku khawatir pada ayah.
            Sejak Sekolah Dasar, aku sudah sering bermain sepak bola di lapangan dekat mesjid sampai Adzan magrib berkumandang. Bermain dengan kebanyakan anak lelaki dikampungku. Yang lebih kusukai adalah permainan berkeringat dan permainan yang memacu adrenalin lainnya, dibanding harus main masak masakan sama Riska dan Sinar. Menurutku itu sangat tidak menarik. Tidak ada makanan asli yang bisa disantap. Pura pura masak, pura pura makan, hanya berpeluang membuatku untuk terus pura pura bahagia memainkannya. Sangat membosankan !
Bermain layangan, atau mencari ikan ikan kecil ditepi disungai bersama anak laki laki lainnya, hanya aku dan Fira, anak perempuan yang berani mengikuti permainan anak lelaki  lainnya. Ibu sering melarangku karena mengira permainan permainan itu memiliki kemungkinan lebih besar untuk cedera parah, tapi ayah selalu membelaku dengan dalih permainan itu memberi lebih banyak pelajaran dan baik untuk pembentukan fisikku. Ibu selalu memaksaku bermain dengan Riska dan Sinar, bersama boneka yang dimiliki Riska. Dirumahnya sangat penuh dengan mainan anak perempuan yang begitu manja. Malas sekali rasanya kalau seharian harus terkurung dirumah Riska karena ibu mengawasi.
Saat Fira datang memanggilku  bermain. Aku sering kabur diam – diam. Menyelinap kalau ibuku dan ibu Riska sedang memasak di dalam dapur. Berlari seolah membawa bendera kemerdekaan ke lapangan yang berada di dekat masjid dan bermain bola lagi.
Paman Jamal kembali menghantam kubangan air yang masih mengendap dijalanan pasca hujan tadi siang. Mobil yang dikendarai pun tiba didepan rumah sederhana kami. Setelah semua  lelah terbayarkan. Ayah merebahkan diri di sofa, kusambut ayah dengan menceritakan kisah menarik dariku selama setahun ini. Aku berhasil membawa nama baik sekolahku menjadi juara di ajang futsal antar SMK sekabupaten. Dan masih banyak lagi prestasi non akademik yang kuraih.
 “Itu semua berkat ayah” Kataku padanya dengan tulus. Tangan ayah luka karena mengalami kecelakaan kerja, ia ceritakan dengan jujur ketika sampai dirumah ditemani suasana hangat kue pia’ yang biasa ibu buat untuk kami sekeluarga. Sul menceritakan kisahnya yang menjadi juara kelas dan mewakili sekolahnya di lomba cerdas cermat, adikku yang sedikit pemalu ini memang jago di bidang akademik. Berbeda denganku yang jago di bidang olahraga, mungkin karena adikku lahir di musim hujan, itu yang membuat otaknya encer, dan aku lahir di musim panas, itu yang membuatku selalu gerah dan mencari keringat.
Ayah kembali menceritakan kondisi tempat kerjanya yang saat ini sedang memanas karena terjadi demonstrasi tentang perpanjangan kontrak. Kejadiannya rumit, dan membuat beberapa temannya harus mencari pekerjaan lain. Ayah baru dapat cuti setelah setahun bekerja.
Tidak mengapa, yang penting bagiku saat ini ayah telah tiba dirumah dengan selamat. Ditenggah perbincangan hangat sore ini. Ayah memberiku wejangan lagi. “Trianiku sayang, kamu harus kuat dan menjadi pelindung keluarga yah”
“Iyah ayahku sayang, tidak perlu bilang pun, Triani akan tetap kuat dan akan menjadi pelindung keluarga.”
Ia tak ubahnya seorang bung tomo bagiku. Selalu menyemangati dengan kata katanya yang membuat semangatku terus berkobar. Berkobar untuk terus belajar dan belajar. Ayah selalu berusaha  menuruti keinginanku, tapi ia akan sangat marah besar ketika aku tidak mendirikan sholat atau kabur saat belajar mengaji. Kalau ayah marah dibagian ini, giliran ibu yang sebagai guru mengajiku yang membela. Mereka adalah orang tua yang punya cara masing masing untuk mendidik. Dan aku yang perlu tuntunan menjalani kehidupan dunia ini adalah ladang mereka untuk menanamkan nilai nilai moral  kehidupan, yang kelak akan menjadi senjata untuk kembali mereka pakai.  Dikemudian hari.

MENEPIS RASA - BAB I - Sebuah Nama

00:20 2
Gagah perkasa melantunkan adzan di ruangan persegi sebuah rumah bersalin. Ayah dengan suara merdunya diiringi tangis yang sakral membersamai kalimat terakhirnya. Sebuah tangis yang dinanti setelah perjalanan dibalut perjuangan mengandung sembilan bulan. Triani Nur Rahma. Sebuah nama yang ayah sematkan padaku dihari kedua udara dunia seutuhnya menyelinap, menyatu memasuki pori pori dan pernapasanku. Entahlah,  atas dasar apa ayahku tiba tiba saja menjadikan nama itu pilihan terakhirnya. Jika saja aku sudah bisa bicara waktu itu, aku akan protes mengapa harus Triani, aku anak pertama bukan anak ketiga. Harusnya nama yang ia sematkan pakai imbuhan yang kesannya ‘pertama’, semisal fisrtiani, agak kebarat barat dan itu lebih keren. Uhh... ayah!.
Kata mamah, namaku baru ditemukan di hari kedua. Itu karena ayahku harus menghubungi paman yang katanya seorang ustad. Dan kebetulan waktu aku lahir, ayahku tidak memiliki handphone, jadilah ia harus meminjam handphone suster yang waktu itu minim pulsa. Ayah menelpon pamanmu sampai kedengaran bunyi tutt..tutt..tutt.. Itu pertanda bahwa pulsanya sudah habis. Hihihi.
Hari ini aku sedang bersantai dirumah. Kuminta Mamah menceritakan tentang kisah kenapa nama ini disematkan padaku.
“Suster, boleh saya meminjam handphone suster?” Pinta ayahmu dengan wajah memelas.
            “Mau ngapain pak?” Tanya suster itu penasaran, karena baru kali ini ada pasien yang mengemis untuk meminjam handphonenya. Maklum saja, waktu itu handphone masih menjadi barang asing yang hanya dimiliki oleh para bangsawan yang memiliki kuasa untuk memasuki toko elektronik, membeli dan membawanya pulang. Untuk orang sekelas ayahmu itu yahh mana bisa !.
            “Ke wartel aja pak” Suster itu menyarankan.
            “Wartel Jauh Mba’, lagian saya Cuma mau minjam sebentar doang kok”. Pinta ayahmu dengan nada sedikit memaksa.
“Karena kasihan dengan ayahmu, yang saat itu lagi kere-kerenya ditambah lagi harus membiayai persalinan. Akhirnya suster itu meminjamkannya. Mungkin suster itu cukup pengertian karena melihat kondisi kami pasangan muda yang belum begitu berkecukupan.  Dan saat itu tidak ada sanak saudara yang mengunjungi kami. Kamu begitu dadakan keluarnya, perut mamah rasanya sakit sekali kau tendang dari dalam. Seperti pemain bola yang bertanding pakai jurus silat, entah jurus tendangan macam apa yang kau keluarkan. Saat itu ayahmu sangat kelabakan melihat mamah mengerang kesakitan.”
Saat bercerita kulihat wajah perjuangan mengalahkan sepuluh banteng terkuat didunia ini dari mamahku. Saat berhasil Kembali ia ceritakan masa ketika aku dilahirkan.
“Malam itu mamah merasakan sesak yang teramat, jantung mamah berdetak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Mengalahkan detak ketika pertama kali bertemu ayahmu. Perut mamah sakit bukan main. Saat itu mamah berdoa semoga diberi anak yang kuat, sebagaimana kuatnya mamah menahan sakit itu. Selama perjalanan kerumah bersalin kamu terus terusan menendang, seolah tempat tinggal kamu selama sembilan bulan ini sudah begitu kecil, sekecil bola. Dan lihatlah dirimu ini engkau mirip samsonwati, sangat kuat.” Ujar mamah sambil mengelap peluh dikeningnya.
“Ah mamah.. Kupeluk mamah erat dan manja setelah menceritakan hal itu.
“Jangan kau cekik mamah dengan pelukanmu, sudah cukup mamah merasakan sakit waktu itu.” Mamah menggosok kepalaku dengan tangannya yang lembut. Aku dan mamah tertawa. Aku senang sekali ketika mamah mendongeng tentang masa kecilku. Meskipun aku tergolong cewek yang agak keras dan sedikit jail, menurutku pelukan mamah adalah pelukan terhangat sedunia.
Dalam pelukan mamah yang begitu hangat, membersamai hujan deras diluar sana kupinta mamah melanjutkan ceritanya.
“Dulu waktu ayahmu menelpon paman untuk menentukan namamu, pamanmu malah menyarankan nama hmm... siapayah dulu itu?” Tanya mamah pada dirinya sendiri seolah mengingat kejadian belasan tahun yang lalu.
“Siapa yah waktu itu? mamah lupa. Ttapi namanya tidak terlalu menarik sih menurut mamah. Mamah minta pilihan yang lain, nah dia kasih Nur Rahma ini” tutup mamah dengan ekspresi senyum centil.
“Lah, kok namaku ada Trianinya itu ngambil dari mana mah?” tanyaku penasaran.
“Biarpun kita orang kampung, ayahmu lah pencetus nama itu. Triani itu Tri dan Ani. Tri karena kamu lahir di tanggal tiga dan Ani adalah panggilan sayang ayah ke Mamah. Ayahmu itu sering memanggil Mamah dengan Ani, sambil berusaha menyamai suara Rhoma Irama si penyanyi dangdut legendaris itu.”
“Ayah kreatif juga yah mah, dia juga romantis ke mamah” Kulihat senyum merekah di wajah mamah ketika aku mengutarakan itu, mamah sangat sayang sama ayah dan itu terbukti dari kesetiaannya selama ayah pergi.
Sepengetahuanku, kalau namaku diartikan secara harfiah “Triani Nur Rahmah” adalah tiga-cahaya-kesayangan. Tapi setelah kupikir pikir lagi, kalau nama itu terlalu manis dan anggun melihat kelakuanku yang sekarang. Aku belum paham betul makna sebenarnya dari tiga cahaya kesayangan itu. Dan aku tidak begitu percaya dengan Tri yang disematkan ayahku hanya karena alasan tanggal kelahiranku, aku yakin pasti ada makna lain dari nama Triani itu. Akan kucari dan kutemukan kelak ! lihat saja.

Like this ya