Cerpen - Cerita dari Kampung Halaman (Cinaguri Manjalling)

13:54

 Oleh : Muhammad Syukur (@zyuk_ron)
Sungai di Manjalling (Taken ; myself)

Masih dengan ember yang bergelantungan di kedua tangan Nisa. Dengan jilbab yang masih agak kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang mungil, dia dengan semangatnya memenuhi gumbang (bak air) yang ada di kolom rumah guru mengajinya. Telihat beberapa tangan yang memerah dari beberapa temannya yang sudah mengaji sedari tadi,  itu karena pukulan batang cinaguri (sebuah batang yang digunakan masyarakat dikampung sebagai penunjuk pada saat membaca al-qur’an) dari guru yang sedang mendidik santri yang tajwidnya masih salah.
Sebenarnya, didikan dengan pukulan batang cinaguri itu meninggalkan bekas yang tak bisa dilupakan, sama halnya al-qur’an yang kami pelajari juga menitihkan bekas yang tak bisa dilupakan sepanjang hayat kami hingga akhirat kelak. Air yang diambil dari sumur yang jaraknya sekitar 20 meter dari kolom rumah guru mengaji membuat kami menjadi  semangat dan tidak mudah mengantuk pada saat belajar mengaji. Karena untuk belajar dibutuhkan perjuangan dan proses yang indah.
Nisa hari ini tidak sempat belajar mengaji karena harus membantu kakaknya memanen padi disawah yang letaknya tidak jauh dari rumah pamannya “Saeni”.  Merasa bersalah dan tidak enak kepada gurunya, Nisa pun memutuskan untuk beranjak sejenak meninggalkan kakaknya yang sudah berkeringat deras. “kak saya mengaji sebentar yah, tidak enak kalau hari ini harus absen mempelajari kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt”. Niatnya sudah bulat untuk belajar mengaji.
“Ya sudah, pergi saja dulu sana, sebentar habis ngaji, jangan lupa kembali kesini lagi ya, karena kita tidak bisa makan kalau tidak bekerja seperti ini dek. Untung saja paman tidak memberikan sawahnya kepada saudagar yang memiliki mobil panen itu, kalau sampai dia memanen sawahnya dengan mobil. Dapat beras dari mana lagi kita”.
“Iya kak, saya pasti kembali untuk membantu. Mau ambil uang dari mana lagi saya kalau bukan dari kakak. Ini kan untuk sekolah saya juga”
Salah seorang teman Nisa memberi tahu kepada guru mengajinya, tentang kondisi Nisa yang sangat miskin setelah ditinggal ibunya. Ayahnya yang menikah lagi dan merantau ke Kalimantan sangat jarang memberinya uang, hingga membuat Junaidil (kakak Nisa) yang harus menjadi tulang punggung bagi Nisa bekerja keras banting tulang setiap hari. Membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya dan berharap mendapat upah walaupun kadang hanya diberi ucapan terima kasih dari warga yang telah dibantunya. Namun Junaidil sangat ikhlas melakukan semua itu dalam rangka ibadah dan mengumpulkan bekal untuk akhirat.
 Setelah mendapat informasi itu. Gurunya yang sekaligus pemimpin pada beberapa acara adat dikampung ini, memberi sedikit bantuan kepada Nisa dan kakaknya, sawah yang dikerjakannya lumayan banyak dan dia meminta agar kakak Nisa saja yang memanennya.
Guru mengaji Nisa mengerti, kalau bukan dia yang memperhatikan anak yatim seperti Nisa. Siapa lagi yang hendak melakukannya. Di jaman yang serba modern seperti sekarang ini, semua orang lebih senang berhura hura tanpa memikirkan nasib orang lain.
***
Selain melakukan panen, Junaidil juga sering memasang pukat di sungai belakang rumahnya. Sehari, kadang dapat dua ekor ikan yang lumayan besar, tapi kadang tidak ada sama sekali. Memang, memasang pukat ini sangat cocok dilakukan pada saat musim kemarau.
Di sore hari, anak anak lebih sering bermain sepak bola di pinggir sungai yang sebagian badannya sudah mengering. Lokasi ini sangat menarik dan membentang sepanjang dua puluh meter dari arah timur ke barat, sehingga anak anak kampung lebih leluasa melakukan berbagai permainan yang mereka sukai di sungai. Ada yang membuat kerajaan pasir yang diatasnya dihiasi dengan kerang yang dalam bahasa kampung kami dikenal dengan baja’ – baja’ dan biri – biri. Ada yang memungut buah asam yang pohonnya tepat condong kesungai. Ada juga yang sekedar mandi dan berenang menggunakan jergen agar terapung.
Mereka lebih senang bermain di sungai, karena suasana sungai yang dingin dan sejuk, sehingga anak anak itu merasa lebih nyaman dan aman untuk bermain di sungai ini.  Selain pukat, masyarakat juga sering menggunakan jala  untuk menangkap ikan mas yang sedang memakan lumut yang melekat di bebatuan kecil di sepanjang sungai yang dangkal ini.
Banyak manfaat yang bisa dinikmati dari sungai ini. Sungai yang bersumber langsung dari “Bantimurung” salah satu objek wisata terbesar di Sulawesi Selatan. Memberi manfaat kepada petani yang sawahnya sedang kekeringan. Dengan menggunakan pompa air, air sungai ini bisa mengaliri sawah mereka yang sedang kekeringan. Selain airnya, pasir yang juga ada disungai ini digunakan untuk campuran semen dalam pembangunan masjid yang sementara dalam tahap renovasi. Junaidil juga selalu turut gotong royong bersama para masyarakat untuk mengangkat pasir hingga ke wilayah mesjid yang akan direnovasi. Sangat terlihat jelas semangat kebersamaan dari masyarakat yang selalu mengikat silaturahmi ini.
Para remaja masjid akhwan tengah mempersiapkan makanan dan minuman yang akan disuguhkan sebagai pelepas dahaga masyarakat yang sudah bercucuran keringat mengangkat pasir. Junaidil yang sesekali memperhatikan salah satu remaja akhwan ini tidak terlihat lelah, dan malah dia sangat bersemangat ketika mendapat senyuman balasan dari Sari.
“Owh ternyata si Sari yang selalu kamu perhatikan dari tadi’?” sapa Agung dengan nada mengejek kepada Junaidil.
“Ah bukan, yang saya perhatikan kue mereka, lanjutkan saja angkat pasirnya terus sebentar kita cicipi kue buatan para akhwan itu”. Sanggah Junaidil.
Para remaja masjid dikampung ini selalu mencoba memberi warna dan gerakan baru dalam masyarakat, memberikan kemudahan kepada anak anak  yang ingin belajar iqra’. Berbekal kemampuan yang dipelajari dibangku sekolah masing masing mereka menyatukan niat dan tekad untuk memberi pembelajaran kepada adik adik yang ingin belajar iqra agar bacaan kitab sucinya lancar. Tentu tanpa pungutan biaya, dan salah satu penggeraknya adalah Sari.
Pada malam itu, ada salah seorang warga yang istrinya sedang berada di tanah suci mekkah untuk menunaikan salah satu rukun islam yaitu berhaji. Sesuai tradisi adat dalam kampung kami, warga yang di tanah suci ini dibacakan “Barazanji” (sebuah sajak indah yang isinya mengenai sejarah nabi Muhammad Saw) yang dibacakan setiap malam jum’at. Mulai dari minggu pertama keberangkatan hingga tibanya kembali kekampung halaman. Kebetulan malam ini yang sedang berhaji adalah ibunya Sari. 

Junaidil yang juga pandai membaca barazanji  tak ingin ketinggalan pada setiap malam jum’at” dia selalu pergi lebih awal dari teman temannya yang lain. Selain untuk barazanji, dia juga memanfaatkan kesempatan ini agar bisa berjumpa dengan Sari sang dambaan hati.
Walau tanpa kedekatan yang terlalu nampak, masing masing mereka menyimpan perasaan suka. Namun sebagai tradisi di kampung ini remaja dan pemuda kampung harus menjunjung tinggi yang namanya siri’ (malu). Karena dengan membudayakan siri’ maka ketika melakukan perbuatan tercela kita akan masiri’ (malu) kepada orang lain.

“Tolong berikan batang cinaguri untuk Nisa’. Semoga dia bisa jadi muslimah yang soleha dan menjadi kebanggaan buat kamu Junaidil”. Pesan  Sari ketika Junaidil hendak pulang.

“Ia, semoga dengan batang cinaguri ini dia bisa pandai mengaji seperti kami Sari, Amin”.
Batang cinaguri itu selalu Nisa gunakan ketika belajar mengaji. Dia sangat berharap menjadi seperti Sari yang pandai mengaji qira’ah  dan mengikuti MTQ tingkat provinsi dengan mewakili Manjalling kampung halamannya. Semoga saja cita cita sucinya bisa terkabulkan. Amin.

Karya Asli zyukron ; Pernah diikutkan dalam lomba CDK (Cerita dari Kampung Halaman)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

2 komentar

Write komentar
GW ELO END
AUTHOR
27 September 2019 at 12:44 delete This comment has been removed by a blog administrator.
avatar
GW ELO END
AUTHOR
27 September 2019 at 13:29 delete This comment has been removed by a blog administrator.
avatar

Like this ya