Oleh : Muhammad Syukur (@zyuk_ron)
Sungai di Manjalling (Taken ; myself) |
Masih
dengan ember yang bergelantungan di kedua tangan Nisa. Dengan jilbab yang masih
agak kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang mungil, dia dengan semangatnya
memenuhi gumbang (bak air) yang ada
di kolom rumah guru mengajinya. Telihat beberapa tangan yang memerah dari
beberapa temannya yang sudah mengaji sedari tadi, itu karena pukulan batang cinaguri (sebuah batang yang digunakan
masyarakat dikampung sebagai penunjuk pada saat membaca al-qur’an) dari guru
yang sedang mendidik santri yang tajwidnya masih salah.
Sebenarnya,
didikan dengan pukulan batang cinaguri itu
meninggalkan bekas yang tak bisa dilupakan, sama halnya al-qur’an yang kami
pelajari juga menitihkan bekas yang tak bisa dilupakan sepanjang hayat kami
hingga akhirat kelak. Air yang diambil dari sumur yang jaraknya sekitar 20
meter dari kolom rumah guru mengaji membuat kami menjadi semangat dan tidak mudah mengantuk pada saat
belajar mengaji. Karena untuk belajar dibutuhkan perjuangan dan proses yang
indah.
Nisa
hari ini tidak sempat belajar mengaji karena harus membantu kakaknya memanen
padi disawah yang letaknya tidak jauh dari rumah pamannya “Saeni”. Merasa bersalah dan tidak enak kepada gurunya,
Nisa pun memutuskan untuk beranjak sejenak meninggalkan kakaknya yang sudah
berkeringat deras. “kak saya mengaji sebentar yah, tidak enak kalau hari ini
harus absen mempelajari kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt”. Niatnya
sudah bulat untuk belajar mengaji.
“Ya
sudah, pergi saja dulu sana, sebentar habis ngaji, jangan lupa kembali kesini
lagi ya, karena kita tidak bisa makan kalau tidak bekerja seperti ini dek. Untung
saja paman tidak memberikan sawahnya kepada saudagar yang memiliki mobil panen
itu, kalau sampai dia memanen sawahnya dengan mobil. Dapat beras dari mana lagi
kita”.
“Iya
kak, saya pasti kembali untuk membantu. Mau ambil uang dari mana lagi saya
kalau bukan dari kakak. Ini kan untuk sekolah saya juga”
Salah
seorang teman Nisa memberi tahu kepada guru mengajinya, tentang kondisi Nisa
yang sangat miskin setelah ditinggal ibunya. Ayahnya yang menikah lagi dan
merantau ke Kalimantan sangat jarang memberinya uang, hingga membuat Junaidil
(kakak Nisa) yang harus menjadi tulang punggung bagi Nisa bekerja keras banting
tulang setiap hari. Membantu siapa saja yang membutuhkan bantuannya dan
berharap mendapat upah walaupun kadang hanya diberi ucapan terima kasih dari
warga yang telah dibantunya. Namun Junaidil sangat ikhlas melakukan semua itu
dalam rangka ibadah dan mengumpulkan bekal untuk akhirat.
Setelah mendapat informasi itu. Gurunya yang
sekaligus pemimpin pada beberapa acara adat dikampung ini, memberi sedikit
bantuan kepada Nisa dan kakaknya, sawah yang dikerjakannya lumayan banyak dan
dia meminta agar kakak Nisa saja yang memanennya.
Guru
mengaji Nisa mengerti, kalau bukan dia yang memperhatikan anak yatim seperti
Nisa. Siapa lagi yang hendak melakukannya. Di jaman yang serba modern seperti
sekarang ini, semua orang lebih senang berhura hura tanpa memikirkan nasib
orang lain.
***
Selain
melakukan panen, Junaidil juga sering memasang pukat di sungai belakang
rumahnya. Sehari, kadang dapat dua ekor ikan yang lumayan besar, tapi kadang
tidak ada sama sekali. Memang, memasang pukat ini sangat cocok dilakukan pada
saat musim kemarau.
Di
sore hari, anak anak lebih sering bermain sepak bola di pinggir sungai yang
sebagian badannya sudah mengering. Lokasi ini sangat menarik dan membentang
sepanjang dua puluh meter dari arah timur ke barat, sehingga anak anak kampung
lebih leluasa melakukan berbagai permainan yang mereka sukai di sungai. Ada
yang membuat kerajaan pasir yang diatasnya dihiasi dengan kerang yang dalam
bahasa kampung kami dikenal dengan baja’
– baja’ dan biri – biri. Ada yang memungut buah asam yang pohonnya tepat
condong kesungai. Ada juga yang sekedar mandi dan berenang menggunakan jergen
agar terapung.
Mereka
lebih senang bermain di sungai, karena suasana sungai yang dingin dan sejuk,
sehingga anak anak itu merasa lebih nyaman dan aman untuk bermain di sungai ini.
Selain pukat, masyarakat juga sering menggunakan jala untuk menangkap ikan
mas yang sedang memakan lumut yang melekat di bebatuan kecil di sepanjang sungai
yang dangkal ini.
Banyak
manfaat yang bisa dinikmati dari sungai ini. Sungai yang bersumber langsung
dari “Bantimurung” salah satu objek wisata terbesar di Sulawesi Selatan.
Memberi manfaat kepada petani yang sawahnya sedang kekeringan. Dengan
menggunakan pompa air, air sungai ini bisa mengaliri sawah mereka yang sedang kekeringan.
Selain airnya, pasir yang juga ada disungai ini digunakan untuk campuran semen
dalam pembangunan masjid yang sementara dalam tahap renovasi. Junaidil juga
selalu turut gotong royong bersama para masyarakat untuk mengangkat pasir
hingga ke wilayah mesjid yang akan direnovasi. Sangat terlihat jelas semangat
kebersamaan dari masyarakat yang selalu mengikat silaturahmi ini.
Para
remaja masjid akhwan tengah mempersiapkan makanan dan minuman yang akan
disuguhkan sebagai pelepas dahaga masyarakat yang sudah bercucuran keringat
mengangkat pasir. Junaidil yang sesekali memperhatikan salah satu remaja akhwan
ini tidak terlihat lelah, dan malah dia sangat bersemangat ketika mendapat
senyuman balasan dari Sari.
“Owh
ternyata si Sari yang selalu kamu perhatikan dari tadi’?” sapa Agung dengan
nada mengejek kepada Junaidil.
“Ah
bukan, yang saya perhatikan kue mereka, lanjutkan saja angkat pasirnya terus
sebentar kita cicipi kue buatan para akhwan itu”. Sanggah Junaidil.
Para remaja masjid dikampung ini selalu
mencoba memberi warna dan gerakan baru dalam masyarakat, memberikan kemudahan
kepada anak anak yang ingin belajar
iqra’. Berbekal kemampuan yang dipelajari dibangku sekolah masing masing mereka
menyatukan niat dan tekad untuk memberi pembelajaran kepada adik adik yang
ingin belajar iqra agar bacaan kitab sucinya lancar. Tentu tanpa pungutan
biaya, dan salah satu penggeraknya adalah Sari.
Pada malam itu, ada salah seorang warga
yang istrinya sedang berada di tanah suci mekkah untuk menunaikan salah satu
rukun islam yaitu berhaji. Sesuai tradisi adat dalam kampung kami, warga yang
di tanah suci ini dibacakan “Barazanji” (sebuah sajak indah yang isinya
mengenai sejarah nabi Muhammad Saw) yang dibacakan setiap malam jum’at. Mulai
dari minggu pertama keberangkatan hingga tibanya kembali kekampung halaman.
Kebetulan malam ini yang sedang berhaji adalah ibunya Sari.
Junaidil yang juga pandai membaca barazanji tak ingin ketinggalan pada setiap malam
jum’at” dia selalu pergi lebih awal dari teman temannya yang lain. Selain untuk
barazanji, dia juga memanfaatkan kesempatan ini agar bisa berjumpa dengan Sari
sang dambaan hati.
Walau tanpa kedekatan yang terlalu
nampak, masing masing mereka menyimpan perasaan suka. Namun sebagai tradisi di
kampung ini remaja dan pemuda kampung harus menjunjung tinggi yang namanya siri’ (malu). Karena dengan membudayakan
siri’ maka ketika melakukan perbuatan
tercela kita akan masiri’ (malu)
kepada orang lain.
“Tolong berikan batang cinaguri untuk
Nisa’. Semoga dia bisa jadi muslimah yang soleha dan menjadi kebanggaan buat
kamu Junaidil”. Pesan Sari ketika
Junaidil hendak pulang.
“Ia, semoga dengan batang cinaguri ini dia bisa pandai mengaji seperti
kami Sari, Amin”.
Batang cinaguri itu selalu Nisa gunakan ketika belajar mengaji. Dia sangat
berharap menjadi seperti Sari yang pandai mengaji qira’ah dan mengikuti MTQ tingkat provinsi dengan
mewakili Manjalling kampung halamannya. Semoga saja cita cita sucinya bisa terkabulkan.
Amin.
Karya Asli zyukron ; Pernah diikutkan dalam lomba CDK (Cerita dari Kampung Halaman)
2 komentar
Write komentarEmoticonEmoticon