Moment tujuh belasan di Indonesia dipenuhi rasa bangga bagi
semua rakyat Indonesia baik yang tinggal diwilayah Indonesia sendiri maupun
yang berada di luar negeri. 70 tahun Indonesia sudah menghirup udara bebas dari
penjajah yang nyata merampas kemerdekaan dari segi fisik dan pemerintahan, tapi
itu semua berhasil direbut kembali oleh para pejuang bangsa ini dengan
mengorbankan nyawa mereka demi ganjaran syahid di sisi yang kuasa.
Trip kali ini dan pertama kalinya adalah melakukan pendakian
ke gunung Paribakkang taua di Camba
kabupaten Maros. Bersama keenam teman lama (Matrix, Halim, Fandi, Agus dan
Guntur) yang berhasil memantapkan tujuan
ke salah satu pelosok negeri Indonesia ini.
Di saat mayoritas teman – teman memilih ke Bawakaraeng, Latimojong dan
Bulusaraung, kami lebih memilih ke tempat ini dengan tekad yang sama yaitu
meningkatkan rasa cinta kepada tanah air terlebih rasa cinta dan rasa syukur
kepada pencipta negeri yang maha kaya ini, pencipta kaki yang mampu mendaki,
pencipta mata yang mampu menatap senja yang kelam dan fajar yang syahdu, serta
pemilik alam, bumi dan antariksa yang maha luas ini.
Setelah melakukan pemanasan dengan mengendarai motor selama
kurang lebih 30 menit dari Bantimurung ke Camba tibalah di persimpangan jalan
yang tidak jauh dari pasar Bengo’ dan lapangan dimana para pasukan pengibaran
bendera di tingkat kecamatan Cenrana ini sedang mengadakan gladi bersih. Belok
kiri dan parkir di salah satu rumah warga yang kolomnya kami gunakan sebagai
tempat parkir tanpa kartu dan bayaran.
Eratkan tali sepatu, mantapkan kerel, pasang scrap, lepas
parasut dan mulai melangkahkan kaki. Tak lupa kami membentuk lingkaran untuk
memanjatkan doa dan bismillah sebagai awal untuk melakukan sebuah
perjalanan. Semoga perjalanan kita
selalu berada dalam lindungannya.
Mulailah perjalanan awal dengan mendaki gunung batu yang
kemiringannya lumayan untuk membawa kerel yang kebanyakan diisi dengan air,
kebetulan saat ini musim kemarau sehingga membuat sumber air yang ada disekitar
daerah tujuan kering.
Di seperdelapan perjalanan kami masih sempat mendengar suara
anak anak yang sedang mengadakan lomba di area perkemahan tingkat SD dan SMP. Setelah
menelusuri lebih dalam suara ribut itu sedikit demi sedikit mulai menghilang seiring
dengan hilangnya rasa malas dan takut yang mencoba berbisik. Akhirnya, eksotisme sedikit demi sedikit
mulai tersirat, melewati hutan pinus yang menjatuhkan buah nya di sepanjang
jalan yang kami lalui. Di sebagian pohon yang mungkin sudah berumur tua ada
helai helai seng yang membentuk corong dimana diatasnya terdapat cairan
berwarna putih kental yang namanya “getah”. Di persimpangan jalan, juga
terdapat drum biru besar yang menampung sekitar 150 Liter getah pohon pinus.
Mungkin sengaja didiamkan oleh pemiliknya untuk selanjutnya dijual atau diolah
sendiri.
Halim, Asho, Syukron |
Setelah melewati hutan pinus, melangkahkan kaki di kebun
milik rakyat dengan semangka dan tomatnya selanjutnya melewati sungai kering
yang hanya kubangan air seukuran kolam renang mini ini dijadikan sebagai tempat
mengambil air oleh masyarakat yang sedang berkebun.
Rintangan terakhir yaitu tapi jurang yang lumayan terjal.
Oleng sedikit mati kita. Untung saja pertahanan keseimbangan masih tetap
menjadi tenaga yang melengkapi.
Berangkat dari pukul 16.45 perjalan sambil memperhatikan kekayaan alam
indonesia semakin memantapkan pendapat bahwa Indonesia benar benar alam yang
mahsyur permai. Sekitar satu jam perjalanan membasuh diri dengan atmosfer alami
tibalah kami di puncak gunung paribakkang taua dengan suasana rindu yang meluap
bebas memperhatikan matahari tenggelam di ufuk barat. Meski sempat terburu –
buru karena takut kehilangan moment yang paling indah dan paling ditunggu
disepanjang hari ini kami masih sempat mengambil sedikit gambar untuk diabadikan.
Sebagai bukti bahwa kami pernah retina kami pernah disuguhkan makanan enak. Ternyata
dipuncak sudah ada orang yang lebih dahulu melakukan sesi pemotretan di tempat
ini (baca : pre wedding) tapi hanya ada dua model yang laki laki semua. Hahaha
Asho, ternyata dia teman SMK dulu yang rupanya hendak menikmati pula senja yang
temaram. Rumahnya tidak jauh dari lokasi pendakian ini hanya saja tetap memakan
waktu untuk bisa sampai ketempat ini.
***
Setelah dengan puas menyaksikan merah bulatnya matahari yang
terbenam, Alarm magrib berbunyi, menandakan bahwa basuh magrib sudah
menghampiri. Salah satu mimpi jarak pendek sudah terpenuhi, shalat magrib
diatas puncak merupakan hal yang tidak akan pernah terlupakan. Membaca
kenikmatan sholat di puncak gunung dari postingan orang lain rasanya beda
dengan melakukannya sendiri. Salah satu wujud syukur atas segala kenimatan yang
diberikan sang pencipta. Tak lupa kusemayaman doa yang yang dalam agar selalu diberi kesehatan serta
kesempatan untuk menyusuri sela kehidupan yang disediakan olehnya.
Disisi lain setelah puas mengambil gambar waktunya
mendirikan tenda untuk berteduh dibawah bulan berselimut alam permai Indonesia.
Santap malam dibawah sinar bulan, terasa sangat hangat karena buatan sendiri,
lanjut dengan api unggun untuk meretakkan bekunya dingin dalam pakaian sambil
bercerita kecil diselingi dengan candaan.
Malam yang dingin paling mantap diresapi dengan basuhan segelas teh hangat, merebahkan
tubuh dan duduk di tepi puncak menyaksikan gemerlap lampu kota yang terlihat
berkedip bagai bintang yang jaraknya sangat jauh dari bumi. Dengan cahaya merah
dan putih, langit Indonesia malam ini sangatlah Indah. Apalagi menatapnya dari
jarak yang lebih dekat dengan tuhan sang maha pencipta keindahan.
Selain teh hangat api unggun sebagai salah satu perisai
perkemahan mampu menghangatkan tubuh jejaka yang sedang kedinginan di puncak
gunung ini.
***
Setelah menghabiskan malam di atas padang rumput, sarapan
dan kami segera bergegas pulang dengan mengantongi sejuta rasa cinta. Rasa yang
muncul setelah melihat lebih dekat dan merasakan lebih dalam.
Save our world.
Syukron, 17 Agustus 2015
EmoticonEmoticon