Hiking to Paribakkang Tauua Camba Maros

21:21

Moment tujuh belasan di Indonesia dipenuhi rasa bangga bagi semua rakyat Indonesia baik yang tinggal diwilayah Indonesia sendiri maupun yang berada di luar negeri. 70 tahun Indonesia sudah menghirup udara bebas dari penjajah yang nyata merampas kemerdekaan dari segi fisik dan pemerintahan, tapi itu semua berhasil direbut kembali oleh para pejuang bangsa ini dengan mengorbankan nyawa mereka demi ganjaran syahid di sisi yang kuasa.

Trip kali ini dan pertama kalinya adalah melakukan pendakian ke gunung Paribakkang taua di  Camba kabupaten Maros. Bersama keenam teman lama (Matrix, Halim, Fandi, Agus dan Guntur)  yang berhasil memantapkan tujuan ke salah satu pelosok negeri Indonesia ini.  Di saat mayoritas teman – teman memilih ke Bawakaraeng, Latimojong dan Bulusaraung, kami lebih memilih ke tempat ini dengan tekad yang sama yaitu meningkatkan rasa cinta kepada tanah air terlebih rasa cinta dan rasa syukur kepada pencipta negeri yang maha kaya ini, pencipta kaki yang mampu mendaki, pencipta mata yang mampu menatap senja yang kelam dan fajar yang syahdu, serta pemilik alam, bumi dan antariksa yang maha luas ini.

Setelah melakukan pemanasan dengan mengendarai motor selama kurang lebih 30 menit dari Bantimurung ke Camba tibalah di persimpangan jalan yang tidak jauh dari pasar Bengo’ dan lapangan dimana para pasukan pengibaran bendera di tingkat kecamatan Cenrana ini sedang mengadakan gladi bersih. Belok kiri dan parkir di salah satu rumah warga yang kolomnya kami gunakan sebagai tempat parkir tanpa kartu dan bayaran.
Eratkan tali sepatu, mantapkan kerel, pasang scrap, lepas parasut dan mulai melangkahkan kaki. Tak lupa kami membentuk lingkaran untuk memanjatkan doa dan bismillah sebagai awal untuk melakukan sebuah perjalanan.  Semoga perjalanan kita selalu berada dalam lindungannya.
Mulailah perjalanan awal dengan mendaki gunung batu yang kemiringannya lumayan untuk membawa kerel yang kebanyakan diisi dengan air, kebetulan saat ini musim kemarau sehingga membuat sumber air yang ada disekitar daerah tujuan kering.

Di seperdelapan perjalanan kami masih sempat mendengar suara anak anak yang sedang mengadakan lomba di area perkemahan tingkat SD dan SMP. Setelah menelusuri lebih dalam suara ribut itu sedikit demi sedikit mulai menghilang seiring dengan hilangnya rasa malas dan takut yang mencoba berbisik.  Akhirnya, eksotisme sedikit demi sedikit mulai tersirat, melewati hutan pinus yang menjatuhkan buah nya di sepanjang jalan yang kami lalui. Di sebagian pohon yang mungkin sudah berumur tua ada helai helai seng yang membentuk corong dimana diatasnya terdapat cairan berwarna putih kental yang namanya “getah”. Di persimpangan jalan, juga terdapat drum biru besar yang menampung sekitar 150 Liter getah pohon pinus. Mungkin sengaja didiamkan oleh pemiliknya untuk selanjutnya dijual atau diolah sendiri.
Halim, Asho, Syukron
Setelah melewati hutan pinus, melangkahkan kaki di kebun milik rakyat dengan semangka dan tomatnya selanjutnya melewati sungai kering yang hanya kubangan air seukuran kolam renang mini ini dijadikan sebagai tempat mengambil air oleh masyarakat yang sedang berkebun.

Rintangan terakhir yaitu tapi jurang yang lumayan terjal. Oleng sedikit mati kita. Untung saja pertahanan keseimbangan masih tetap menjadi tenaga yang melengkapi.  Berangkat dari pukul 16.45 perjalan sambil memperhatikan kekayaan alam indonesia semakin memantapkan pendapat bahwa Indonesia benar benar alam yang mahsyur permai. Sekitar satu jam perjalanan membasuh diri dengan atmosfer alami tibalah kami di puncak gunung paribakkang taua dengan suasana rindu yang meluap bebas memperhatikan matahari tenggelam di ufuk barat. Meski sempat terburu – buru karena takut kehilangan moment yang paling indah dan paling ditunggu disepanjang hari ini kami masih sempat mengambil sedikit gambar untuk diabadikan. Sebagai bukti bahwa kami pernah retina kami pernah disuguhkan makanan enak. Ternyata dipuncak sudah ada orang yang lebih dahulu melakukan sesi pemotretan di tempat ini (baca : pre wedding) tapi hanya ada dua model yang laki laki semua. Hahaha Asho, ternyata dia teman SMK dulu yang rupanya hendak menikmati pula senja yang temaram. Rumahnya tidak jauh dari lokasi pendakian ini hanya saja tetap memakan waktu untuk bisa sampai ketempat ini.

***
Setelah dengan puas menyaksikan merah bulatnya matahari yang terbenam, Alarm magrib berbunyi, menandakan bahwa basuh magrib sudah menghampiri. Salah satu mimpi jarak pendek sudah terpenuhi, shalat magrib diatas puncak merupakan hal yang tidak akan pernah terlupakan. Membaca kenikmatan sholat di puncak gunung dari postingan orang lain rasanya beda dengan melakukannya sendiri. Salah satu wujud syukur atas segala kenimatan yang diberikan sang pencipta. Tak lupa kusemayaman doa yang  yang dalam agar selalu diberi kesehatan serta kesempatan untuk menyusuri sela kehidupan yang disediakan olehnya.

Disisi lain setelah puas mengambil gambar waktunya mendirikan tenda untuk berteduh dibawah bulan berselimut alam permai Indonesia. Santap malam dibawah sinar bulan, terasa sangat hangat karena buatan sendiri, lanjut dengan api unggun untuk meretakkan bekunya dingin dalam pakaian sambil bercerita kecil diselingi dengan candaan.

Malam yang dingin paling mantap diresapi  dengan basuhan segelas teh hangat, merebahkan tubuh dan duduk di tepi puncak menyaksikan gemerlap lampu kota yang terlihat berkedip bagai bintang yang jaraknya sangat jauh dari bumi. Dengan cahaya merah dan putih, langit Indonesia malam ini sangatlah Indah. Apalagi menatapnya dari jarak yang lebih dekat dengan tuhan sang maha pencipta keindahan.
Selain teh hangat api unggun sebagai salah satu perisai perkemahan mampu menghangatkan tubuh jejaka yang sedang kedinginan di puncak gunung ini.

***
Setelah menghabiskan malam di atas padang rumput, sarapan dan kami segera bergegas pulang dengan mengantongi sejuta rasa cinta. Rasa yang muncul setelah melihat lebih dekat dan merasakan lebih dalam.
Save our world.

Syukron, 17 Agustus 2015

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Like this ya