Menelusuk awan di ketinggian Bulusaraung Pangkep

08:11



Di atas awan puncak bulusaraung
Hari ini center point untuk melakukaan perjalanan perdana adalah di rumah yudha. Sembari menunggu beberapa teman yang belum sampai. Persiapan sudah dilakukan karena seminggu sebelumnya sudah saling info barang apa yang harus disediakan. Tenda, perlengkapan makan dan masak, juga perlengkapan di malam hari (senter, lilin, kopi, dan beberapa helai kain pelapis dingin). Yang paling penting adalah cemilan.

Pukul 10.30 kami berangkat (dari Maros), setelah pamitan dan mohon doa restu kepada ibu ahmad yang juga menitipkan pesan agar namanya ditulis dikertas “Dapat salam dari puncak”. Yah, keinginan seorang ibu yang begitu mulia.

Satu jam perjalanan telah dilalui dari arah Maros menuju kaki gunung Bulusaraung. Letaknya, Setelah menemui patung KB (Keluarga Berencana) yang digencarkan di Kabupaten Pangkep yang disisi kanannya terdapat Masjid megah berwarna hijau, tinggal melajukan motor ke arah kanan, dari jalan poros (Tonasa 1) satu jalur ke wisata sejarah sumpang bita dan leang lonrong. Beberapa kilo dari perbatasan kecamatan Balocci akan terpampang gerbang selamat datang di Desa Tompobulu. Pemandangan yang begitu asri dengan jalan yang berkelok kelok berukuran lebar kira kira 2 – 3 meter.

Sapa para pendaki menjadi penghibur jalan mulai dari pengendara sampai pada jalur pendakian dengan jalan kakinya. Sungguh attitude yang ramah, dan sopan serta saling sipakainga’.

Setelah sampai di pos satu kira kira pukul 11.30 berhubung karena hari sakral (Jum’at) kami membersihkan pakaian dan mengambil beberapa perlengkapan untuk menghadap kepada sang pemilik keindahan untuk melakukan shalat jum’at. Shalat sekali seminggu yang menjadi pemersatu umat muslim dari sibuknya aktivitas sepekan.

Setelah jum’atan kami mendata nopol kendaraan dan melakukan pendaftaran ke pos penjaga yang ada di pos satu. Tim yang berjumlah delapan orang, lima diantaranya adalah pemula termasuk saya akan melakukan pendakian ke gunung dengan ketinggian 1323 mdpl (perkiraan dari blog lain), pastinya disetiap perjalanan diawali dengan bismillahi tawakkaltu alallahi lahauwla walakuata illa billah. Sembari saling menguatkan tekad dan memobori semangat.

Pendakian pun dimulai dengan jalur yang  cukup membuat jantung memompa lebih keras, rasanya tidak beda jauh dengan jatuh cinta, deg degan, tapi kali ini deg degan yang teramat sangat. Hahaha.

Salah satu  dari anggota tim yang juga pemula, membawa kerel yang berisikan tenda sempat menghampiri menyerah pada pertengahan pos satu dan dua.  Tapi kami tetap saling menguatkan. Bagi perokok berpotensi lebih tinggi akan mengalami napas yang tidak beraturan dibanding yang bukan perokok, inilah salah satu dampak negatif rokok.
Pos 5 : antara lelah dan tak tahu mau apa lagi

Pos demi pos dilalui dengan aman dan saling sapa sebagai tanda saling menghargai dan menghormati sesama pendaki. Bagi pendaki yang hulu dan hilir berganti, terlihat ada yang sudah senior ada pula yang terlihat pemula (merasa bukan satu satunya pemula), mereka yang sudah dalam perjalanan pulang terkias senyum indah layaknya pemenang undian. Dan mereka yang baru melewati tiga pos terlihat begitu sengsara dengan keringat yang membanjiri. Namun dibalik senyum indah mereka yang kembali, juga terpampang kesedihan karena telah meninggalkan sesuatu yang berharga melebihi berlian.  Dan dibalik wajah sengsara mereka yang masih dalam perjalanan menggapai puncak, tersimpan harapan untuk menggapai berlian yang mahal itu.

Beberapa menit terlewati, sudah hampir dua jam melalui rindangnya pepohonan, dengan beberapa tulisan “kawasan zona inti bantimurung bulusaraung” entah apa artinya. Sesekali hujan yang lebih menyerupai embun pun membantu meringankan keringat dengan hawa dinginnya suasana siang hari di atas gunung. Pos delapan, adalah pos mata angin, kami sempatkan mengambil beberapa gambar sebagai menu wajib background pemandangan eksotis. Sembari menghirup udara segar di pos ini, terdapat menara yang entah bagaimana orang hebat yang memasangnya disini.

POS 8 : Mata angin (taken by me. yang manjat menara)
Pukul 15. 00 kami tiba di camp yang sengaja kami pilih dekat dengan mata air untuk memudahkan akses penggunaan air. Pada bulan bulan mei airnya masih cukup deras, jadi memudahkan para pendaki yang ingin memasak dan menggunakan air tanpa harus membawa dari kaki gunung. Ini salah satu kelebihan dari pendakian di bulusaraung, adanya mata air di pos sembilan (pos akhir).

Lokasi camp
Sore itu, setelah memasang tenda dan membersihkan badan dari perjalanan yang cukup menguras tenaga, dengan menikmati kopi dan sedikit cemilan, kami melakukan sholat ashar berjamaah. Diselingi doa dan rasa syukur serta dibumbuhi candaan tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 17.00, itu berarti kami harus ke puncak untuk menikmati senja yang menjadi tujuan utama kami. Penikmat senja, mungkin bisa dibilang begitu. Kiasan senja yang selalu manawarkan rasa rindu yang entah untuk siapa, selalu saja indah dan akan tetap indah. Apalagi dinikmati di tempat yang dulunya hanya bisa dipandang sebesar ibu jari dari halaman rumah sekarang, kami sudah benar benar menakukannya.

Jarak puncak yang kira kira didaki 15 – 20 menit dari lokasi camp dengan dakian yang cukup terjal, menjadi tantangan tersendiri bagi pemula, tapi biasa sajalah. Yang penting niat lebih besar dari rasa takut, pasti tujuan akan tercapai dengan rasa puas yang lebih besar pula. Masya allah, sungguh luar biasa keindahan yang dipancarkan di puncak ini. Ada pemancar dan bendera merah putih (lambang kekayaan tanah Indonesia), bebatuan, pohon dan awan yang saat ini  letaknya berada lebih rendah dari pijakan kaki saya. Subhanallah, pemilik keindahan ini memang sungguh luar biasa memanage buminya. Sehingga dijadikan ladang penghidupan bagi hamba dan mahluknya. Rasanya tak ingin meninggalkan moment seperti ini, tak lupa mengambil gambar (baca ; berfoto) sebagai menu wajib. Segera peralatan wajib yang sudah disediakan (kamera, tongsis, spidol dan kertas) dikeluarkan dari tas. Menulis beberapa titipan salam dari kerabat, sahabat dan teman. Serta bergantian memotret.
Inilah kami, sang penakluk puncak senja

Senja yang kian menit semakin tenggelam di ufuk barat laut sulawesi terlihat jelas dari sinarnya yang semburat, Perairan yang terlihat lebih luas menjadi mahkota keindahan tanah Bugis Makassar. Gunung gunung kecil, serta karts menjadi jubah keindahannya serta awan yang menjadi perias kecantikannya. Sungguh view yang begitu lengkap. Hal itu sebentar lagi akan berganti dengan kegelapan malam. Kami pun bergegas menuju tenda yang menjadi tempat peristirahatan semalam.

Suasana malam di camp ini begitu ramai. Ada pendaki yang baru sampai malam hari dan ada yang tengah malam. Mereka tak diam, tetapi mereka menyuarakan ekspresi kebahagian masa muda mereka. Masa muda yang menurutnya begitu indah. Mudah mudahan menjadi pemuda yang positif dan selalu ingat bahwa mereka adalah pemuda dan seorang hamba.

Berayun di hammock, menikmati suguhan bintang malam yang gemerlap dan beberapa kunang kunang, api unggun yang sengaja dinyalakan untuk membantu menghangatkan suasana dingin di bulusaraung ini. Pagi menghampiri, saatnya menikmati teman sejati dari sunset. Dialah sunrise (fajar), dengan terang yang membawa harapan. Menjadi pertanda para penduduk bumi untuk memulai aktivitas selama sehari penuh. Dan dihari libur ini kami akan menikmati fajar terbit di puncak gunung bulusaraung.

Suasana pagi yang penuh dengan semangat, tak beda jauh dengan suasana senja yang penuh dengan rindu. Akhirnya berlian yang membuat wajah sedih pendaki yang meninggalkan gunung ini kami temukan juga. Ternyata keindahan seperti ini yang membuat para penikmat gunung sedih dikala perjalanan pulang. Dari rentetan pendaki, ada satu wanita dengan seragam hijabernya yang membuat saya salut, rok dan hijab syar’i besarnya tetap bisa membuatnya menggapai puncak. Sungguh perjuangan yang hebat neng.

Titip salam
Titip salam dari puncak gunung
Setelah menikmati dua paket  senja dan fajar dengan cuaca yang begitu bersahabat, kami akan mengantongi secercah cerita untuk dibagikan. Salah satunya lewat blog ini. perjalanan pulang yang lebih cepat satu jam dari pendakian membuat kami sampai kembali ke pos satu sebelum duhur. Ternyata jalur pulang bisa lebih cepat dari pendakiannya. 

Penikmat fajar (sunrise@ Bulusaraung)



Bulusaraung 06 – 07 Mei 2016.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Like this ya