|
Danau Tanralili |
Kirim aku kedalam bait bait penuh
makna dan bawalah daku terbang bersama burung dewata mengitari lingkaran air
surga dari mata air salsabilah yang syahdu di surga sana. Tujuan liburan kali
ini adalah danau tanralili. Sebuah surga kecil di lingkar kota Malino Kabupaten
Gowa. Berangkat dari meet point di rumah Budi pada pukul 08.00 melalui jalur
pintas, Batangase jalur Kostrad kariango, melalui pasar carangki belok kanan
menuju Sipur dan tak lama kemudian meyatukan diri dengan pengendara lain di
jalur Poros Malino.
Keramaian mulai terasa ketika
memasuki jalan poros Malino. Memang pada saat liburan akhir pekan seperti ini,
banyak yang suka nge-camp ataupun sewa villa di lokasi wisata alam yang
terkenal dengan hawa dinginnya ini. Tidak begitu macet, tapi kami menghabiskan
waktu sekitar kurang lebih tiga jam perjalanan. Hingga akhirnya tiba di pos
registrasi.
Oiya, Jika ada yang bertanya
dimana jalur menuju lokasi danau Tanralili ini, anda bisa memasuki jalur menuju
air terjun Takapala, dan air terjun ketemu jodoh. Jika anda belum pernah ke air
terjun ini, tenang saja, tak jauh dari pertamina akan ada papan petunjuk yang
terpampang di tepi jalan poros yang menandakan arah menuju air terjun Takapala.
Letak strategis danau tanralili
berada di kaki gunung bawakaraeng, pantas saja kabut sangat menggumpal kala di
puncak puncak pendakian. Setelah menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh menit
di pos registrasi, kami melakukan doa bersama dan memulai perjalanan. Ada
beberapa aturan untuk bisa ngecamp di danau tanralili, diantaranya dilarang
membawa hammock, itu dikarenakan
pohon pohon yang ada di sekitar danau tanralili memang masih kecil, jadi
apabila bergelantungan dengan hammock disini
maka akan mengganggu pertumbuhan pohon. Juga dilarang menyalakan api unggun
karena rawan kebakaran, apalagi saat musim kemarau. Yang paling penting adalah
dilarangnya laki laki dan perempuan yang bukan mahram menginap di satu tenda
yang sama. Hal itu untuk mendukung terjadinya hal hal yang tidak sewajarnya.
Syar’i banget. Salut sama pengelolah tempat wisata alam ini.
Perjalanan kali ini kami
berempat, bersama Nawir, Ariawan dan Rahma (sepupu). Awalnya merencakan
perjalanan ke lembah ramma, sesuai kesepakatan seminggu sebelumnya dengan Sudar,
Evi, Idar dan teman teman yang lainnya.
Tapi, karena minim pengetahuan kami pikir lembah ramma sama dengan danau
tanralili, apalagi Sudar dan Evi yang sudah berangkat sehari sebelumnya membuat
kami semakin jauh dari haluan. Kami hanya menerka nerka dan memulai perjalanan
dengan bismillah.
Perjalanan cukup santai, karena
siang itu matahari tak begitu terik. Hanya pada langkah awal saja matahari
menyengat, setelah itu sesekali awan mendung dan sesekali kabut yang menemani.
Kami mulai berjalan di pukul 11.00 dengan membawa carel pada masing masing
punggung yang begitu rapuh ini. Di perjalanan, begitu banyak pemandangan air
terjun, baik yang dekat maupun hanya terlihat dari kejauhan. Ada yang
bertingkat, ada pula yang terjal terjatuh, menghasilkan aliran sungai sungai
kecil dari muaranya. Pada sisi kiri perjalanan terdapat sungai besar yang
airnya sangat minim, padahal pada saat
kunjungan kesini musim belum kemarau parah hingga menyisahkan pemandangan
bebatuan dan pasir yang menambah keelokan wilayah puncak kabupaten gowa.
Diperjalanan tidak usah begitu
khawatir tersesat, karena jalur ke danau tanralili itu terbuka, dan banyak traveller
yang lalu lalang pulang dan pergi. Ada pula beberapa warga yang berjalan
berkelompok, entah kemana dan dari mana, saya tak sempat bertanya karena
langkah mereka sedikit lebih cepat walaupun kebanyakan dari mereka kelihatan
sudah tua.
Tanjakan pertama cukup menguras
stamina, apalagi dengan carel yang lumayan berat diisi dengan air dan beberapa
makanan serta perlengkapan camp. Tapi itu mampu
terlewati dengan bahu membahu serta saling menyemangati.
Perjalanan dua jam berlalu tanpa
terasa, seolah lupa kalau ternyata masih berjalan di dunia, bukan akhirat. Berjalan
dengan tertatih karena kami belum terlatih, tapi langkah kami pasti meskipun
tujuan masih diterka terka. Di puncak kedua dari akhir, kabut tebal
menyelimuti, sedikit mengganggu penglihatan yang memang payah ini. Akhirnya
lelah yang disengaja harus dilawan untuk mempercepat langkah menuju tujuan
utama. Pada tanjakan parah terakhir, belok kanan dan mata berbinar melihat
sebuah kumpulan air yang menghijau. Alhamdulillah sudah terlihat. Tapi berada
dipuncak ini seolah mengajak untuk istirahat sejenak, sembari menikmati gerimis
yang basah, (iya basah kan air!). Sesekali mengambil pose terbaik dan
bergantian mengambil gambar.
Tinggal beberapa langkah lagi
sudah benar benar berada di danau tanralili. Pukul 13.30 dan akhirnya *hoaamm tiba
juga. Suasana masih basah dari gerimis yang menyelimuti barusan, kabut pun
perlahan mulai berjalan, ada yang menjauh ada juga yang mendekat.
Setelah sampai, karena nawir tiba
lebih dulu, ia mencari Sudar, Evi, Idar dan beberapa teman lainnya yang diajak
janjian. Ternyata nihil. Kami salah, ini bukan lembah ramma’. Ini Danau
tanralili, surga kecil yang menyaingi ranu kumbolonya mahameru.
Karena ketiga teman terlihat
sudah kelelahan, maka kami memutuskan untuk istirahat sejenak, bertanya jalur
menuju lembah ramma dari beberapa tenda yang sudah berada lebih dulu disini. Tenda
pertama, tidak tahu, kedua pun begitu tenda ketiga juga tidak tahu tapi
mengenal salah seorang warga yang kebetulan berada disekitar danau ini, “anda bisa bertanya kepada orang tua itu”
katanya sambil celingak celinguk mencari seseorang yang disebutnya orang tua
tadi. Karena lama tidak datang juga, akhirnya saya memutuskan mendatangi tenda
yang ada diseberang sungai kecil yang kelihatannya lebih ramai.
“maaf bolehji ber tanya, dimana
jalur ke lembah ramma’?” beberapa
dari mereka menjawab bergantian, menjelaskan bahwa jalur ke ramma dari danau
tanralili menghabiskan waktu sekitar dua jam lagi dari sini. Dan menyeberangi
gunung serta sungai yang alirannya cukup ganas kalau musim hujan di maret
seperti ini. Mereka sekelas remaja dan pemuda, wellcome dan berbaik hati
menawari kami bergabung dengan kelompok mereka. Akhirnya karena melihat kondisi
tenaga, cuaca dan pengetahuan yang minim tentang pendakian dadakan seperti ini,
akhirnya kami memutuskan untuk ngecamp disini saja, karena awalnya bayangan
kami memang lembah ramma itu disini, sama dengan danau tanralili. Hehe.
Saat setelah mendirikan tenda, mendung
sudah menyelimuti langit yang terasa lebih dekat disini, dan tak lama kemudian
hujan deras mengguyur, membasahi nafas yang sedari tadi tersengal. Perbincangan
hangat ditemani kopi hangat dan cemilan yang kami bawa. Bersama dengan keluarga
baru yang akan menemani dua hari satu malam kami disini. Mereka adalah
mahasiswa dan anak SMA serta SMP yang satu kampung membentuk perkumpulan dan
menamainya dengan MMJ (Mange Mange Jappa). Ma’ddi nama kepala sukunya, dan
senang hati menyambut kami. Ini yang paling saya sukai dari setiap pendakian,
bertemu dengan orang orang baik yang belum pernah ditemui sebelumnya tetapi
sudah seperti keluarga dekat.
Sore yang masih teduh dari hujan
yang sudah berakhir. Masih ada beberapa waktu ba’da ashar ini untuk explore
bagian bagian kecil di surga ini. Mengambil beberapa peralatan untuk pose foto dan
tak lupa baju tebal karena dingin. Terlihat beberapa pendaki lain baru sampai
dan mencari lokasi untuk mendirikan tenda. Tak lama setelah itu malam pun menghampiri,
semesta bertasbih untuk magrib yang sendu. Walaupun sunset tak terlihat hari
ini, tapi pegunungan batu yang lembut ditumbuhi rerumputan dibalut kabut dari
sisa hujan tetap saja bertengger dengan kekar membawahi air terjun yang
terdengar bersahutan menyambut manusia manusia yang kurang piknik dan berusaha
mensyukuri hidup melalui alam.
Malam pun semakin larut, bakwan
yang dibuat keluarga baru ini membuat malam terasa nikmat. Di pertengahan malam
mereka menghabiskan waktu untuk mendiksar anggota baru dari perkumpulannya dan
sembari terdengar sahut menyahut dari beberapa pendaki yang baru datang dan mencari
temannya. “Semoga teman kami yang ada di
lembah ramma tidak khawatir tentang keberadaan kami” hanya itu doa yang
selalu terucap dari lisan yang hina ini.
Hawa dingin di subuh itu menusuk
sampai ketulang. Ingin rasanya pagi segera tiba menjemput jiwa jiwa yang
kelelahan dibawah tenda kusam yang menyelamatkan kami dari hujan dan angin. Setelah
pagi benar benar menjemput dan cahaya sudah semburat. Ternyata suara yang sahut
menyahut semalam menghasilkan beberapa tenda yang sudah tak terhitung. Aku dan
Nawir mencoba mencari spot baru untuk mengambil gambar. Akhirnya tiba di puncak
lagi. Pemandangan danau tanralili benar benar terlihat dari puncak ini, danau
yang bentuknya hampir menyerupai kupu kupu dan sayapnya yang dimekarkan.
Sungguh indah alam yang
diciptakan Allah, alam sebagai sarana untuk tafakkur (mendekatkan diri kepada
Allah dengan melihat ciptaanya) bukannya takabbur dari apa yang diucapkan.
Perjalanan kali ini mengajarkan
akan indahnya berbagi. Saling mengenal, mengenal sesama manusia, mengenal alam
dan mengenal pencipta sang ilahi rabbi.
Danau Tanralili 4 – 5 Maret 2017