Kira kira seperti ini ceritanya.
Pukul 20.00
kita sudah diantar sama Muhlis menunggu mobil di stasiun Maros (baca : pinggir
jalan, depan SMK Kebangsaan). Alhasil, bus langsung tiba beberapa menit
kemudian, barangkali tak cukup sepuluh menit. Setelah terjadi proses tawar
menawar yang dramatis yang intinya menjual status (mahasiswa) biar harganya
murah. Akhirnya dibolehkan naik *Mungkin dengan sedikit terpaksa*. Perjalanan
pun berlangsung murah meriah, dengan
bekal seadanya (untuk kebutuhan perjalanan sendiri, masih sendiri, masih
bujang). Hujan yang mengguyur selama
perjalanan membuat tidur semakin lelap. Begitupun dengan penumpang lain. Karena
kondisi bus yang lebih banyak kursi kosong, membuat saya lebih leluasa
berpindah tempat, dan membaringkan badan (asal tidak berjoget ria). Dan
pemberhentian pertama untuk istirahat adalah di kabupaten Barru (supirnya
lapar), selama kurang lebih tiga puluh menit.
Melintasi
beberapa kabupaten menyusur bagian utara Sulawesi Selatan, tak terasa waktu
sudah menunjukan Pukul 03.30. Akhirnya sampai ke Songka’ kecamatan Wara Selatan
kota Palopo. Sebenarnya dari beberapa kali kunjungan ke Palopo, baru kali ini
mendengar lokasi itu. Tapi, setelah dapat kabar dari kanda Ardi, bahwa tidak
usah langsung ke terminal, turun didepan polsek wara selatan saja. Jadilah kita
tiba di songka. Rumah baru kace.
Beberapa jam
setelah adzan subuh berkumandang. Matahari sudah menampakan wajah lugunya,
saatnya buka mata dan rasakan kilaunya. “Don’t you excited when your open your
eyes, you in new place”. Benar, sekarang
kita berada lagi ditempat yang berbeda dari biasanya dan sedikit excited, walau
belum telusur.
Kebetulan
rumah baru kace beberapa kilometer saja dari laut, dan sebelum itu, terpampang
empang yang cukup luas (untuk di telusuri). Jadilah kita pagi itu telusuri desa
sekitar bersama Nabil. Pemandangan pertama yang terlihat, adalah gerombolan
ikan bolu (bandeng) yang menantikan makanan, selanjutnya gerombolan udang dari
empang yang lainnya. Dan kepiting yang sesekali menampakan wajah malu malunya
sama kita pendatang baru dari area persawahan. Berjalan lebih jauh lagi, eh
ketemu pohon jomblo *pohon jomblo lagi* bedanya sama pohon jomblo postingan
sebelumnya di Barru yang berada di bukit
ditengah padang rumput yang luas. Kali ini pohon jomblonya berada di tengah
empang yang berair hijau.
Budidaya Kepiting Cangkang lunak
Telusur
lebih jauh lagi, terdapat sebuah empang luas yang isinya bukan ikan dan udang,
tetapi kepiting yang dimasukan dalam kotak hitam yang sudah dimodel sedemikian
rupa. Jika diperhatikan lebih dalam sedalam empang, ada view menarik disini. Cukup
interview pekerjanya (ibu – ibu), ternyata kepiting dimasukan dalam kotak agar
bisa diambil cangkang yang lunak. Selama sehari bisa tujuh kali panen. Dan pekerjanya
dibagi dalam tiga shift, karena cangkang yang sudah siap panen harus selalu dicek
setiap saat. Dan menurut info, cangkang
dari kepiting ini diimpor ke luar negeri loh, bukan hanya di pasarkan di
Indonesia.
Walaupun
pada pagi itu hanya terdapat sekitar sepuluh lebih pekerja yang memanen cangkang
kepiting soka. Tapi mereka bekerja dengan giat untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka.
Tak
jauh dari budidaya kepiting soka ini, sekitar seratus meter, akhirnya tiba di
pantai yang tadi hanya bisa diperhatikan dari kejauhan. Airnnya surut, jadi
penampakan hutan kayu lapuk dari pohon bakau begitu terasa. Dan angin laut yang
sepoi datang menyambut kami dengan riangnya.
***
Hari Kedua,
setelah hari kerja yang dijadikan hari cuti. Serbuan teror dari supplier dan
rekan kerja kemarin, tergantikan dengan tidur lelap dari kegiatan yang
meletihkan semalam. Mengecat rumah sembari mengiringi canda ketiga saudara
kandung yang terlalu kegirangan ini. Sambil menunggu pisang goreng buatan mamak
yang kabarnya paling enak sedunia (bagi anak anaknya). Saat fajar menyingsing,
pagi ini tidak ada jelajah empang lagi (mungkin trauma karena kemarin sempat
ditegur saat sedang berjalan di industri kepiting milik warga sekitar yang
melarang memotret kegiatan pekerja, tapi alhasil sudah banyak gambar yang
diambil. hehe). Jadilah hari ini, kace
masuk ke rumah barunya (peresmiannya). Suara ribut kerabat serta rekan kerjanya
yang turut meramaikan acara syukuran cukup membuat kebisingan di pagi hingga
siang itu. Rencana mau pergi sejenak, tapi motor terpakai. Jadilah kita jadi
pagar ayu siang itu.
Tidak berapa
lama, mungkin malaikat mendengar ucapan saya tadi untuk keluar sebentar. Ada
seorang nenek yang ingin diantar pulang ke Balandai’ (nama daerah di Palopo). Saya menawarkan diri untuk mengantar *wujud
bakti kepada orang yang lebih tua* . Akhirnya punya kesempatan juga ngetrip bareng
nenek - nenek. Selama perjalanan, nenek yang baru saya temui ini bercerita
panjang tentang kisahnya yang baru seusia SMP sudah menikah, pekerjaan anak
anaknya, kegiatan cucu – cucunya. Waktu gadis ngapain saja, pokoknya panjang
lebar, sehingga perjalanan menjadi begitu hidup. Pesan hidup yang ditawaran
untuk saya adalah “Orang tua bekerja keras diwaktu muda. Di hari tua, mereka hanya menunggu kebaikan dari anak
anaknya”. Dari perjalanan yang begitu hidup ini, saya sempat menanyakan sesuatu
; “nenek masih ingat jalan pulang ?” Spontan jawaban dari pertanyaan singkat yang
saya ajukan ini dijawabnya dengan kisah lagi. -_-. Kurang lebih seperti ini “Saya tuh waktu masih gadis tinggal di sana
(sambil nunjuk suatu tempat di kota), dan setelah nikah, saya ikut suami ke
Lamasi (nama daerah di luwu) jadi bla bla bla. Jadilah sebuah cerpen.
Sebenarnya tujuan saya bertanya, karena saya juga lupa jalan menuju Balandai’.
“waduh, kita kesasar nek. Tapi tenang saja, saya bisa baca petunjuk
jalan (berusaha menenangkan). Dari beberapa liku jalan yang dilalui,
akhirnya jalan poros menuju Masamba kelihatan. Syukurlah, akhirnya bisa membuat
nenek ini tidak khawatir lagi.
Cerita tentang nenek berakhir.
Sepulang
mengantar nenek tadi, kita coba telusur wilayah Balandai lagi, masuk ke
pemukiman warga yang dipenuhi dengan rumput laut yang dikeringkan, melalui
pantai, dan beberapa pekuburan cina, kristen yang tersusun di gunung. Tujuan
yang dicari adalah view yang berbeda dari biasanya. Setelah lelah telusur,
terpercik ide untuk mengunjungi Masjid yang kemarin ditunda untuk sholat jum’at
disana. Masjid Jami Tua Palopo.
Masjid Jami Tua Palopo
Siang yang
sudah hampir memasuki waktu duhur itu, membuat saya penasaran mengunjungi
masjid tertua kedua di Sulawesi Selatan. Setelah mendengar cerita dari kakak,
bahwa disana terdapat pohon cinaguri yang paling besar, dan susunan tembok
masjidnya yang hanya disambung dengan menggunakan putih telur, (mirip pembuatan
piramida di Mesir). Jadilah kita sholat duhur disana. Subhanallah, benar benar
indah dan penuh dengan nilai sejarah disini, Arsitektur yang menarik dengan
batu yang berwarna abu abu dan begitu tebal, seukuran tujuh kali lipat dari
masjid dikampung saya. Atap masjid yang bersusun tiga, dan pintu masjid yang
berwarna coklat dengan pengait (paccala) yang masih model dulu.
Disana sudah
terdapat banyak ummat muslim yang sedang menantikan waktu zuhur, sembari
melihat lihat perlengkapan sholat dan pakaian muslim yang dijual di pelataran
masjid. Walaupun ukuran masjid ini sedikit lebih rendah dari masjid masjid baru
yang dibangun saat ini. Masjid tua ini merupakan titik nol kota Palopo. Jadi hitungan
kilometer dikota ini dimulai dari masjid ini.
Memasuki
ruangan masjid, nuansa religius begitu kental terasa, akhirnya terlihat juga
cinaguri yang berbatang paling besar ini. biasanya hanya dijadikan sapu
(sejenis sapu lidi untuk menyapu halaman, atau dijadikan kayu penunjuk saat
mengaji waktu kecil dulu). Cinaguri ini merupakan tiang utama yang menyangga empat tiang
lainnya di masjid ini. menyangga empat tiang artinya (eppa’ sulapa’) dimana
arah mata angin ada empat.
Di masjid ini
kita berkenalan dengan seorang gadis cilik yang bernama Rika. Katanya dia
senang sekali menghabiskan waktu disiini setiap pulang sekolah. Kadang
mengendarai ojek, tak jarang juga dia hanya berjalan kaki. Saat menawari pegang
kamera, saya langsung memberikannya, dari dialah saya dapat beberapa informasi
mengenai keberadaan masjid ini. Berjalan ke arah cinaguri yang berada dalam
ruangan berkaca, itu membuatnya kembali bercerita. Konon katanya, orang yang
menebang pohon cinaguri ini berikrar bahwa tidak akan ada lagi pohon cinaguri
yang sebesar ini. Makanya sekarang cinaguri yang tumbuh hanya sebesar induk
jari. Saya sempat menanyakan mengapa pohon ini dipagari dengan dinding kaca.
Ternyata, banyak orang yang mengambil potongan kayu dari pohon tua ini sebagai
obat atau semacammnya.
Dari papan
informasi yang tertera juga terdapat sejarah singkat masuknya islam ke wilayah
wilayah yang ada di sulawesi selatan juga terdapat keterangan skema ukuran
masjid tua Palopo. Terima kasih deik
Rika sudah berbagi informasi. See you next time.
Pantai labombo
Masih dihari
yang sama, sore disaat acara sudah berlangsung dengan meriah tanpa tepuk tangan dari penonton karena ini
bukan pertunjukan, ditemani Nabil yang belum mandi seharian karena memegang
janji dari omnya untuk mengajaknya berenang di pantai Labombo. konon kabarnya
pantai itu yang paling terkenal di kota Palopo ini. Mencoba menyusuri jalan
yang sebelumnya belum pernah kami lewati. Hanya sedikit info dari kakak,
jadilah explore pantai terjadi lagi.
Karcis masuk
ke pantai ini sebesar Rp. 15.000 dihari libur, berhubung karena ini hari sabtu
maka tergolong hari libur, itu berlaku untuk semua kalangan baik itu anak anak,
dewasa maupun om – om. Lokasi pantai yang menghadap ke arah timur dan memanjang
ini membuat pengelola berusaha meningkatkan wahana wisata didalamnya. Terdapat
kolam yang berbatasan langsung dengan pantai, terdapat kebun bunga, gazebo dan
tempat memesan makanan / minuman. Banyak keluarga yang menghabiskan waktunya disini,
sembari menikmati jus dan kue kue ringan disuguhi dengan pemandangan laut dan
angin sepoi darinya.
Tak lama
berada di pantai ini, karena hari sudah semakin gelap, dan hujan yang mengguyur
di bagian utara kota Palopo awalnya kami pikir hujan itu akan segera mengguyur
sampai ke selatan palopo akhirnya kami buru buru. Tapi tidak, sampai ke daerah
pegunungan saja yang hujan.
***
Di hari ketiga,
saatnya jelajah pasar, menemani mamak dan kakak ipar, sudah dua kali bolak
balik ke pasar ini, untuk sekedar membeli oleh oleh. Dan oleh oleh utamanya
adalah sagu (sebuah makanan yang terbuat dari batang pohon sagu yang dibungkus
dengan daun). Makanan ini menjadi bahan utama dalam pembuatan kapurung (papeda).
Its day to
quality time. Mengajak kemanakan kemanakan ke time zone, bakar ikan sama mamak
tercinta :* saudara saudara dan istri istrinya (istri saya mana?) sama
anak anaknya (anak saya mana?) dan semua semuanya. Semoga keluarga kami
akan berkumpul juga di syurga kelak. Amin !!!
Dan malamnya
pun kembali bersama bus pesanan yang mengantarkan kami kembali ke daerah asal
dengan tidur lelap. Dan ada cerita lucu lagi disini, pas lagi nyenyak
nyenyaknya tidur. Mamahnya Nabil, tiba tiba teriak, karena bus oleng “Woi, pak
supir kenapa, Pak supir kenapa? (dengan dialek dan ekspresi kaget, pake berdiri
lagi). Saya dan beberapa penumpang lain keheranan. “Zonkkk”. Hahah. Tapi
langsung ketawa karena bus dan pak supir tidak apa apa. Katanya dia mimpi dan
itu wujud ekspresi dari mimpinya. Sudahlah.
Dari pukul 22.30,
akhirnya bisa tiba di Maros dengan selamat sentosa, menghantarkan sagu yang
harus dipikul sendiri. Dan kembali ke rutinitas hari senin. SENIN.
Terima kasih
untuk perjalanan 27-29 Januari bersama keluarga kali ini.