Di atas awan puncak bulusaraung |
Hari ini center point untuk melakukaan perjalanan perdana adalah di rumah yudha. Sembari menunggu beberapa teman yang belum sampai. Persiapan
sudah dilakukan karena seminggu sebelumnya sudah saling info barang apa yang
harus disediakan. Tenda, perlengkapan makan dan masak, juga perlengkapan di
malam hari (senter, lilin, kopi, dan beberapa helai kain pelapis dingin). Yang paling
penting adalah cemilan.
Pukul 10.30 kami berangkat (dari Maros), setelah pamitan dan
mohon doa restu kepada ibu ahmad yang juga menitipkan pesan agar namanya
ditulis dikertas “Dapat salam dari puncak”. Yah, keinginan seorang ibu yang
begitu mulia.
Satu jam perjalanan telah dilalui dari arah Maros menuju
kaki gunung Bulusaraung. Letaknya, Setelah menemui patung KB (Keluarga
Berencana) yang digencarkan di Kabupaten Pangkep yang disisi kanannya terdapat
Masjid megah berwarna hijau, tinggal melajukan motor ke arah kanan, dari jalan
poros (Tonasa 1) satu jalur ke wisata sejarah sumpang bita dan leang lonrong. Beberapa
kilo dari perbatasan kecamatan Balocci akan terpampang gerbang selamat datang
di Desa Tompobulu. Pemandangan yang begitu asri dengan jalan yang berkelok
kelok berukuran lebar kira kira 2 – 3 meter.
Sapa para pendaki menjadi penghibur jalan mulai dari
pengendara sampai pada jalur pendakian dengan jalan kakinya. Sungguh attitude
yang ramah, dan sopan serta saling sipakainga’.
Setelah sampai di pos satu kira kira pukul 11.30 berhubung
karena hari sakral (Jum’at) kami membersihkan pakaian dan mengambil beberapa
perlengkapan untuk menghadap kepada sang pemilik keindahan untuk melakukan shalat
jum’at. Shalat sekali seminggu yang menjadi pemersatu umat muslim dari sibuknya
aktivitas sepekan.
Setelah jum’atan kami mendata nopol kendaraan dan melakukan
pendaftaran ke pos penjaga yang ada di pos satu. Tim yang berjumlah delapan
orang, lima diantaranya adalah pemula termasuk saya akan melakukan pendakian ke
gunung dengan ketinggian 1323 mdpl (perkiraan dari blog lain), pastinya
disetiap perjalanan diawali dengan bismillahi tawakkaltu alallahi lahauwla
walakuata illa billah. Sembari saling menguatkan tekad dan memobori semangat.
Pendakian pun dimulai dengan jalur yang cukup membuat jantung memompa lebih keras,
rasanya tidak beda jauh dengan jatuh cinta, deg degan, tapi kali ini deg degan
yang teramat sangat. Hahaha.
Salah satu dari
anggota tim yang juga pemula, membawa kerel yang berisikan tenda sempat menghampiri
menyerah pada pertengahan pos satu dan dua. Tapi kami tetap saling menguatkan. Bagi perokok
berpotensi lebih tinggi akan mengalami napas yang tidak beraturan dibanding
yang bukan perokok, inilah salah satu dampak negatif rokok.
Pos 5 : antara lelah dan tak tahu mau apa lagi |
Pos demi pos dilalui dengan aman dan saling sapa sebagai
tanda saling menghargai dan menghormati sesama pendaki. Bagi pendaki yang hulu
dan hilir berganti, terlihat ada yang sudah senior ada pula yang terlihat
pemula (merasa bukan satu satunya pemula), mereka yang sudah dalam perjalanan
pulang terkias senyum indah layaknya pemenang undian. Dan mereka yang baru
melewati tiga pos terlihat begitu sengsara dengan keringat yang membanjiri.
Namun dibalik senyum indah mereka yang kembali, juga terpampang kesedihan
karena telah meninggalkan sesuatu yang berharga melebihi berlian. Dan dibalik wajah sengsara mereka yang masih
dalam perjalanan menggapai puncak, tersimpan harapan untuk menggapai berlian
yang mahal itu.
Beberapa menit terlewati, sudah hampir dua jam melalui
rindangnya pepohonan, dengan beberapa tulisan “kawasan zona inti bantimurung
bulusaraung” entah apa artinya. Sesekali hujan yang lebih menyerupai embun pun
membantu meringankan keringat dengan hawa dinginnya suasana siang hari di atas
gunung. Pos delapan, adalah pos mata angin, kami sempatkan mengambil beberapa
gambar sebagai menu wajib background pemandangan eksotis. Sembari menghirup
udara segar di pos ini, terdapat menara yang entah bagaimana orang hebat yang
memasangnya disini.
POS 8 : Mata angin (taken by me. yang manjat menara) |
Pukul 15. 00 kami tiba di camp yang sengaja kami pilih dekat
dengan mata air untuk memudahkan akses penggunaan air. Pada bulan bulan mei
airnya masih cukup deras, jadi memudahkan para pendaki yang ingin memasak dan
menggunakan air tanpa harus membawa dari kaki gunung. Ini salah satu kelebihan
dari pendakian di bulusaraung, adanya mata air di pos sembilan (pos akhir).
Lokasi camp |
Sore itu, setelah memasang tenda dan membersihkan badan dari
perjalanan yang cukup menguras tenaga, dengan menikmati kopi dan sedikit
cemilan, kami melakukan sholat ashar berjamaah. Diselingi doa dan rasa syukur serta
dibumbuhi candaan tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 17.00, itu berarti
kami harus ke puncak untuk menikmati senja yang menjadi tujuan utama kami.
Penikmat senja, mungkin bisa dibilang begitu. Kiasan senja yang selalu
manawarkan rasa rindu yang entah untuk siapa, selalu saja indah dan akan tetap
indah. Apalagi dinikmati di tempat yang dulunya hanya bisa dipandang sebesar
ibu jari dari halaman rumah sekarang, kami sudah benar benar menakukannya.
Jarak puncak yang kira kira didaki 15 – 20 menit dari lokasi
camp dengan dakian yang cukup terjal, menjadi tantangan tersendiri bagi pemula,
tapi biasa sajalah. Yang penting niat lebih besar dari rasa takut, pasti tujuan
akan tercapai dengan rasa puas yang lebih besar pula. Masya allah, sungguh luar
biasa keindahan yang dipancarkan di puncak ini. Ada pemancar dan bendera merah
putih (lambang kekayaan tanah Indonesia), bebatuan, pohon dan awan yang saat
ini letaknya berada lebih rendah dari
pijakan kaki saya. Subhanallah, pemilik keindahan ini memang sungguh luar biasa
memanage buminya. Sehingga dijadikan ladang penghidupan bagi hamba dan
mahluknya. Rasanya tak ingin meninggalkan moment seperti ini, tak lupa
mengambil gambar (baca ; berfoto) sebagai menu wajib. Segera peralatan wajib yang
sudah disediakan (kamera, tongsis, spidol dan kertas) dikeluarkan dari tas. Menulis
beberapa titipan salam dari kerabat, sahabat dan teman. Serta bergantian
memotret.
Inilah kami, sang penakluk puncak senja |
Senja yang kian menit semakin tenggelam di ufuk barat laut
sulawesi terlihat jelas dari sinarnya yang semburat, Perairan yang terlihat lebih
luas menjadi mahkota keindahan tanah Bugis Makassar. Gunung gunung kecil, serta
karts menjadi jubah keindahannya serta awan yang menjadi perias kecantikannya. Sungguh
view yang begitu lengkap. Hal itu sebentar lagi akan berganti dengan kegelapan
malam. Kami pun bergegas menuju tenda yang menjadi tempat peristirahatan
semalam.
Suasana malam di camp ini begitu ramai. Ada pendaki yang
baru sampai malam hari dan ada yang tengah malam. Mereka tak diam, tetapi
mereka menyuarakan ekspresi kebahagian masa muda mereka. Masa muda yang
menurutnya begitu indah. Mudah mudahan menjadi pemuda yang positif dan selalu
ingat bahwa mereka adalah pemuda dan seorang hamba.
Berayun di hammock, menikmati suguhan bintang malam yang
gemerlap dan beberapa kunang kunang, api unggun yang sengaja dinyalakan untuk
membantu menghangatkan suasana dingin di bulusaraung ini. Pagi menghampiri,
saatnya menikmati teman sejati dari sunset. Dialah sunrise (fajar), dengan terang
yang membawa harapan. Menjadi pertanda para penduduk bumi untuk memulai
aktivitas selama sehari penuh. Dan dihari libur ini kami akan menikmati fajar
terbit di puncak gunung bulusaraung.
Suasana pagi yang penuh dengan semangat, tak beda jauh
dengan suasana senja yang penuh dengan rindu. Akhirnya berlian yang membuat
wajah sedih pendaki yang meninggalkan gunung ini kami temukan juga. Ternyata keindahan
seperti ini yang membuat para penikmat gunung sedih dikala perjalanan pulang. Dari
rentetan pendaki, ada satu wanita dengan seragam hijabernya yang membuat saya
salut, rok dan hijab syar’i besarnya tetap bisa membuatnya menggapai puncak. Sungguh
perjuangan yang hebat neng.
Titip salam |
Titip salam dari puncak gunung |
Setelah menikmati dua paket
senja dan fajar dengan cuaca yang begitu bersahabat, kami akan
mengantongi secercah cerita untuk dibagikan. Salah satunya lewat blog ini. perjalanan
pulang yang lebih cepat satu jam dari pendakian membuat kami sampai kembali ke
pos satu sebelum duhur. Ternyata jalur pulang bisa lebih cepat dari
pendakiannya.
Penikmat fajar (sunrise@ Bulusaraung) |
Bulusaraung 06 – 07 Mei 2016.