Sore itu hujan belum reda. Rintiknya masih seperti jarum yang
menusuk bumi. Anehnya, bumi bahagia karena kejatuhan jarum itu. Bahagianya
ditandai dengan tumbuh suburnya pepohonan dan berbagai tanaman yang berpijak
padanya. Sama seperti perasaanku saat ini, senang sekali rasanya. Hari ini ayah
pulang, kembali memupuk kebahagiaan di keluarga kecil kami. Aku, mamah dan Sul-adikku
akan menjemput ayah dibandara. Diantar oleh paman Jamal yang memang seorang
supir mobil lintas daerah. Jalanan yang saat itu masih banyak genangan air
disikat habis olehnya.
Aku begitu bersemangat sore itu. Kubatalkan janji dengan Fira,
untuk bermain bola volly di lapangan dekat masjid. Meskipun sebentar ayah
pulangnya kerumah. Rasanya akan beda jika langsung menjemputnya di bandara. Menyambut
kedatangannya dengan senyum terbaikku.
“Ayah akan tiba, aku dan Sul akan mempunyai ayah baru, yakan mah?”
Mamah kaget. Segera kuluruskan, “Maksudnya dengan wajah baru ayah tahun ini.
Kan dia baru pulang setelah setahun meninggalkan mamah”. Mamah senyum.
Sepertinya dia juga telah sangat menantikan lelaki hebat dalam hidupnya selain
ayahnya. Sama sepertiku saat ini aku akan kedatangan lelaki hebatku, yang
menyematkan nama Triani yang begitu lekat ketika orang yang baru mengenalku,
memanggilku dengan sebutan itu.
Sesampainya di bandara, suasana hilir mudik penumpang dan
pegawai bandara terlihat ramai lalu lalang dari sudut barat hingga timur
bergerak ke tujuan masing masing. Sibuk sekali aktivitas orang-orang disini. Setelah
kupastikan keadaan sekitar, pandanganku sekarang hanya tertuju ke pintu
kedatangan. Kuamati satu persatu wajah orang orang yang baru saja turun dari
benda yang bisa terbang itu, tapi tak kunjung kutemukan wajah yang kukenali.
Aku hanya berharap menemukan sosok lelaki yang begitu kurindukan. Ayah. Tiba
tiba saja keluar dari pintu kedatangan dengan tangan yang dibebat perban. Nah,
itu dia lelaki yang kunantikan itu.
Mengapa ada luka ditangan ayah? Apakah dia baru saja berkelahi
dengan petugas pemeriksa koper itu lagi? Seperti yang dilakukannya sewaktu
pergi dulu? Kurasa tidak, lukanya cukup parah, dan itu tidak nampak seperti
luka setelah berkelahi. Setelah lebih dekat, ibu segera memeluknya, begitupun
aku dan Sul. “Ani, mengapa engkau menangis?” Tanya ayah setelah ibu memeluknya
singkat, dan segera melepasnya karena menyadari banyak orang disekitarnya. Ibu
tidak menjawab, karena ia tahu pasti ayah mengerti itu adalah tangis haru
setelah sekian lama mereka menahan rindu.
Sekarang giliranku, aku yang biasanya mengacungkan kepalan
tangan berbentuk tinju kepada ayah saat bertemu, saat ini terkendala karena
tangan ayah dibungkus perban. “Tangan ayah hebat, pasti telah memukul penjahat
lagi kan? Semoga bukan petugas pemeriksa koper itu lagi yang ayah pukul. Ia
pasti akan lari terbirit birit melapor ke satpam”. Teringat saat ayah berangkat
dulu ia bermasalah dengan petugas koper karena seorang muslimah bercadar yang
ikut mengantri didepannya dipaksa untuk membuka cadarnya. Ia disangka teroris.
Ayah marah karena ia menganggap oknum petugas tersebut tidak memberi kenyamanan
kepada calon penumpang. Muslimah tersebut bersikeras untuk tidak membukanya.
Ayahku yang jago bela diri segera melakukan aksinya yang heroik. Menantang Petugas
itu, setelah pertarungan yang tidak memakan waktu terlalu lama petugas itu kalah
dan segera mengerang ampun pada ayah. Ternyata setelah introgasi oknum petugas
tersebut sangat tertarik kepada muslimah bercadar yang kecantikannya terpancar
dari rona dan bulu matanya yang sangat anggun. Sedang petugas koper tersebut
baru saja ditinggal pacarnya, ia mengira mantan pacarnya yang menyamar agar
tidak dikenali olehnya. Aneh!. Saat itu kusadari pahlawan sejatiku ini memang
hebat.
“Tangan ayah kena tembak saat ayah melawan teroris di papua, katanya
teroris itu mau menyerang Tria di sini, makanya ayah lawan” Ungkap ayah dengan
membusungkan dada dan memukulnya dengan tangan kirinya yang sehat sehat saja.
“Ayah memang pahlawan Triani yang paling hebat. Aku bangga sama
ayah” Kembali kupeluk ayah dengan pelukan eratku yang sengaja kuberi tenaga.
“Uhhhh sakit,,, tangan ayah kenapa dijepit lagi” Ayah mengerang
kesakitan.
“Maaf maaf, yahh, Tria tidak sengaja” Belaku meminta maaf.
“Tambah kuat saja kau ini,sepertinya bakat samson ayah sudah
menular sama anakmu ini mah” kode ayah ke mamah sambil memberikan tentengan
kantongan yang berisi oleh oleh.
Ayahku memang orang yang kuat, ia ahli dalam bela diri, kata
mamah dia sering diutus mewakili kabupaten tempat tinggalnya untuk mengikuti
lomba bela diri silat di tingkat provinsi. Tapi sayang sekali ayah tidak pernah
ke tingkat nasional karena kandas dikalahkan oleh tim dari kabupaten lain yang
terkenal lebih hebat dengan silatnya. Tapi bagiku ayah tetap pahlawan keluarga
bukan pahlawan nasional, ia telah melindungiku ibu dan Sul dari jeratan
penjajahan kelaparan. Karena ia adalah tulang punggung keluarga kami dan telah
totalitas melaksanakan kewajiban dengan sebaik baik caranya.
Saat ini ia sedang bekerja di perusahaan tambang emas, yang ada
diujung timur Indonesia. Ia bekerja disana sejak aku masih di sekolah dasar.
Sebelumnya ia hanya seorang petani yang berkewajiban membiayai keluarga dari
hasil garapan cangkulnya. Ia sangat menyenangi pekerjaan bercocok tanam. Tapi
melihat kondisi keluarga yang masih saja kekurangan. Ia mencari solusi dengan
mencoba mendaftar di salah satu perusahaan tambang yang pada saat itu sedang
membuka lowongan. Om Khaidir sahabat ayahku yang mengabarinya. Memberinya
kesempatan untuk memperbaiki nasib keluarga. Alhamdulillah sejak saat itu
keadaan keluarga kami semakin membaik. Sejak ayah bekerja, Om Khaidir juga
masih sering bersilaturahmi kerumah bersama istri dan Anaknya (kak Ibnu) . Kak
Ibnu sering kuajak bermain bola bersama teman temanku dilapangan, sampai badan
berlumuran lumpur. Dan mamah sering mengomeliku karena baju yang dikenakan Ibnu
jadi kotor. Meskipun begitu, masih saja kuulangi, karena kak Ibnu memang suka
bermain bola.
Kebetulan ayahku adalah lulusan STM yang saat ini sudah berubah
menjadi SMK. Ia seorang petani tapi ahli di bidang mesin. Makanya sepedaku yang
sudah kupakai sejak kelas tiga SD sering dia service ketika rusak hanya dengan
satu kali kedipan mata. Cepat sekali. Ia
juga tak segan segan mengajariku memegang
kunci kunci. Berusaha menularkan bakatnya kepadaku dalam bidang bela
diri dan reparasi, dan aku mulai terbiasa dengan itu.
“Apa - Apaan, anak gadis kenapa disuruh perbaiki sepeda” Protes
mamah kepada ayah saat ketahuan sedang mengajariku.
Ayah hanya senyum dan
membela “Biar anakmu bisa mandiri!”
Aku terlalu kagum melihat banyak perempuan yang bekerja disawah,
menjual sayur dengan menggunakan sepeda, menjual jamu gendong, supir angkot
bahkan tukang tambal ban yang buka ditepi jalan poros yang sering kulalui pun
seorang perempuan. Mereka hebat sekali.
Aku dengan segala keluguanku sering memaksa ayah membawaku
dengan sepeda ontelnya menonton pertandingan sepakbola di lapangan yang berjarak
lima kilometer dari rumahku. Jarak yang
bila dijabarkan melewati tiga dusun, satu pasar dan beberapa ladang persawahan.
Aku sangat senang menyaksikan permainan sepakbola meskipun aku seorang
perempuan, aku ingin menjadi pemain sepakbola wanita pertama dari kampungku.
Aku ingin jadi pahlawan yang berbeda dengan perempuan lainnya yang hanya bisa
mempercantik dirinya lalu berjalan dengan tubuh seksinya melintasi pasar pasar,
mengundang teriakan penonton untuk menggodanya. Aku ingin menjadi pahlawan
karena ketangkasanku melawan kebatilan.
Ketika ayah kelelahan mendayuh sepeda ontelnya, aku biasanya
langsung loncat mengambil posisi kuda kuda untuk membelikannya minum. Uang
jajan yang diberi ibu aku habiskan untuk membeli es serut lalu kuberikan satu
kepada ayah.
“Ayah capek Triani, bisa kamu gantikan ayah mengayuh sepedanya?”
pinta seorang ayah kepada anak gadis yang baru berusia sepuluh tahun.
“Bisaaaaa ....
yah” Teriakku lantang. Aku memang suka itu. Kakikku yang harus dibuat kuat agar
bisa menjadi pemain sepak bola yang kuat. Aku yang mengayuh sepeda dan ayah
yang menyetir. Sebuah kerjasama yang penuh dengan kekompakan. Saat - saat itu
yang selalu aku rindukan kala ayah pergi ke pulau paling ujung Indonesia. Konon
katanya orang orang disana kadang tidak bersahabat dengan pendatang. Dan itu
yang sering membuatku khawatir pada ayah.
Sejak Sekolah
Dasar, aku sudah sering bermain sepak bola di lapangan dekat mesjid sampai Adzan
magrib berkumandang. Bermain dengan kebanyakan anak lelaki dikampungku. Yang
lebih kusukai adalah permainan berkeringat dan permainan yang memacu adrenalin
lainnya, dibanding harus main masak masakan sama Riska dan Sinar. Menurutku itu
sangat tidak menarik. Tidak ada makanan asli yang bisa disantap. Pura pura
masak, pura pura makan, hanya berpeluang membuatku untuk terus pura pura
bahagia memainkannya. Sangat membosankan !
Bermain layangan, atau mencari ikan ikan kecil ditepi disungai
bersama anak laki laki lainnya, hanya aku dan Fira, anak perempuan yang berani
mengikuti permainan anak lelaki lainnya.
Ibu sering melarangku karena mengira permainan permainan itu memiliki
kemungkinan lebih besar untuk cedera parah, tapi ayah selalu membelaku dengan
dalih permainan itu memberi lebih banyak pelajaran dan baik untuk pembentukan
fisikku. Ibu selalu memaksaku bermain dengan Riska dan Sinar, bersama boneka
yang dimiliki Riska. Dirumahnya sangat penuh dengan mainan anak perempuan yang
begitu manja. Malas sekali rasanya kalau seharian harus terkurung dirumah Riska
karena ibu mengawasi.
Saat Fira datang memanggilku bermain. Aku sering kabur diam – diam. Menyelinap
kalau ibuku dan ibu Riska sedang memasak di dalam dapur. Berlari seolah membawa
bendera kemerdekaan ke lapangan yang berada di dekat masjid dan bermain bola
lagi.
Paman Jamal kembali menghantam kubangan air yang masih mengendap
dijalanan pasca hujan tadi siang. Mobil yang dikendarai pun tiba didepan rumah
sederhana kami. Setelah semua lelah
terbayarkan. Ayah merebahkan diri di sofa, kusambut ayah dengan menceritakan
kisah menarik dariku selama setahun ini. Aku berhasil membawa nama baik
sekolahku menjadi juara di ajang futsal antar SMK sekabupaten. Dan masih banyak
lagi prestasi non akademik yang kuraih.
“Itu semua berkat ayah” Kataku
padanya dengan tulus. Tangan ayah luka karena mengalami kecelakaan kerja, ia
ceritakan dengan jujur ketika sampai dirumah ditemani suasana hangat kue pia’
yang biasa ibu buat untuk kami sekeluarga. Sul menceritakan kisahnya yang
menjadi juara kelas dan mewakili sekolahnya di lomba cerdas cermat, adikku yang
sedikit pemalu ini memang jago di bidang akademik. Berbeda denganku yang jago
di bidang olahraga, mungkin karena adikku lahir di musim hujan, itu yang
membuat otaknya encer, dan aku lahir di musim panas, itu yang membuatku selalu
gerah dan mencari keringat.
Ayah kembali menceritakan kondisi tempat kerjanya yang saat ini
sedang memanas karena terjadi demonstrasi tentang perpanjangan kontrak. Kejadiannya
rumit, dan membuat beberapa temannya harus mencari pekerjaan lain. Ayah baru
dapat cuti setelah setahun bekerja.
Tidak mengapa, yang penting bagiku saat ini ayah telah tiba
dirumah dengan selamat. Ditenggah perbincangan hangat sore ini. Ayah memberiku
wejangan lagi. “Trianiku sayang, kamu harus kuat dan menjadi pelindung keluarga
yah”
“Iyah ayahku sayang, tidak perlu bilang pun, Triani akan tetap
kuat dan akan menjadi pelindung keluarga.”
Ia tak ubahnya seorang bung tomo bagiku. Selalu menyemangati
dengan kata katanya yang membuat semangatku terus berkobar. Berkobar untuk
terus belajar dan belajar. Ayah selalu berusaha
menuruti keinginanku, tapi ia akan sangat marah besar ketika aku tidak
mendirikan sholat atau kabur saat belajar mengaji. Kalau ayah marah dibagian
ini, giliran ibu yang sebagai guru mengajiku yang membela. Mereka adalah orang
tua yang punya cara masing masing untuk mendidik. Dan aku yang perlu tuntunan
menjalani kehidupan dunia ini adalah ladang mereka untuk menanamkan nilai nilai
moral kehidupan, yang kelak akan menjadi
senjata untuk kembali mereka pakai.
Dikemudian hari.
1 komentar:
Write komentarNice article thanks for sharing
ReplyDubai Blinds
EmoticonEmoticon