MENEPIS RASA - BAB II - KETIKA AYAH PULANG

14:06
Sore itu hujan belum reda. Rintiknya masih seperti jarum yang menusuk bumi. Anehnya, bumi bahagia karena kejatuhan jarum itu. Bahagianya ditandai dengan tumbuh suburnya pepohonan dan berbagai tanaman yang berpijak padanya. Sama seperti perasaanku saat ini, senang sekali rasanya. Hari ini ayah pulang, kembali memupuk kebahagiaan di keluarga kecil kami. Aku, mamah dan Sul-adikku akan menjemput ayah dibandara. Diantar oleh paman Jamal yang memang seorang supir mobil lintas daerah. Jalanan yang saat itu masih banyak genangan air disikat habis olehnya.
Aku begitu bersemangat sore itu. Kubatalkan janji dengan Fira, untuk bermain bola volly di lapangan dekat masjid. Meskipun sebentar ayah pulangnya kerumah. Rasanya akan beda jika langsung menjemputnya di bandara. Menyambut kedatangannya dengan senyum terbaikku.
“Ayah akan tiba, aku dan Sul akan mempunyai ayah baru, yakan mah?” Mamah kaget. Segera kuluruskan, “Maksudnya dengan wajah baru ayah tahun ini. Kan dia baru pulang setelah setahun meninggalkan mamah”. Mamah senyum. Sepertinya dia juga telah sangat menantikan lelaki hebat dalam hidupnya selain ayahnya. Sama sepertiku saat ini aku akan kedatangan lelaki hebatku, yang menyematkan nama Triani yang begitu lekat ketika orang yang baru mengenalku, memanggilku dengan sebutan itu.
Sesampainya di bandara, suasana hilir mudik penumpang dan pegawai bandara terlihat ramai lalu lalang dari sudut barat hingga timur bergerak ke tujuan masing masing. Sibuk sekali aktivitas orang-orang disini. Setelah kupastikan keadaan sekitar, pandanganku sekarang hanya tertuju ke pintu kedatangan. Kuamati satu persatu wajah orang orang yang baru saja turun dari benda yang bisa terbang itu, tapi tak kunjung kutemukan wajah yang kukenali. Aku hanya berharap menemukan sosok lelaki yang begitu kurindukan. Ayah. Tiba tiba saja keluar dari pintu kedatangan dengan tangan yang dibebat perban. Nah, itu dia lelaki yang kunantikan itu.
Mengapa ada luka ditangan ayah? Apakah dia baru saja berkelahi dengan petugas pemeriksa koper itu lagi? Seperti yang dilakukannya sewaktu pergi dulu? Kurasa tidak, lukanya cukup parah, dan itu tidak nampak seperti luka setelah berkelahi. Setelah lebih dekat, ibu segera memeluknya, begitupun aku dan Sul. “Ani, mengapa engkau menangis?” Tanya ayah setelah ibu memeluknya singkat, dan segera melepasnya karena menyadari banyak orang disekitarnya. Ibu tidak menjawab, karena ia tahu pasti ayah mengerti itu adalah tangis haru setelah sekian lama mereka menahan rindu.
Sekarang giliranku, aku yang biasanya mengacungkan kepalan tangan berbentuk tinju kepada ayah saat bertemu, saat ini terkendala karena tangan ayah dibungkus perban. “Tangan ayah hebat, pasti telah memukul penjahat lagi kan? Semoga bukan petugas pemeriksa koper itu lagi yang ayah pukul. Ia pasti akan lari terbirit birit melapor ke satpam”. Teringat saat ayah berangkat dulu ia bermasalah dengan petugas koper karena seorang muslimah bercadar yang ikut mengantri didepannya dipaksa untuk membuka cadarnya. Ia disangka teroris. Ayah marah karena ia menganggap oknum petugas tersebut tidak memberi kenyamanan kepada calon penumpang. Muslimah tersebut bersikeras untuk tidak membukanya. Ayahku yang jago bela diri segera melakukan aksinya yang heroik. Menantang Petugas itu, setelah pertarungan yang tidak memakan waktu terlalu lama petugas itu kalah dan segera mengerang ampun pada ayah. Ternyata setelah introgasi oknum petugas tersebut sangat tertarik kepada muslimah bercadar yang kecantikannya terpancar dari rona dan bulu matanya yang sangat anggun. Sedang petugas koper tersebut baru saja ditinggal pacarnya, ia mengira mantan pacarnya yang menyamar agar tidak dikenali olehnya. Aneh!. Saat itu kusadari pahlawan sejatiku ini memang hebat.
“Tangan ayah kena tembak saat ayah melawan teroris di papua, katanya teroris itu mau menyerang Tria di sini, makanya ayah lawan” Ungkap ayah dengan membusungkan dada dan memukulnya dengan tangan kirinya yang sehat sehat saja.
“Ayah memang pahlawan Triani yang paling hebat. Aku bangga sama ayah” Kembali kupeluk ayah dengan pelukan eratku yang sengaja kuberi tenaga.
“Uhhhh sakit,,, tangan ayah kenapa dijepit lagi” Ayah mengerang kesakitan.
“Maaf maaf, yahh, Tria tidak sengaja” Belaku meminta maaf.
“Tambah kuat saja kau ini,sepertinya bakat samson ayah sudah menular sama anakmu ini mah” kode ayah ke mamah sambil memberikan tentengan kantongan yang berisi oleh oleh.
Ayahku memang orang yang kuat, ia ahli dalam bela diri, kata mamah dia sering diutus mewakili kabupaten tempat tinggalnya untuk mengikuti lomba bela diri silat di tingkat provinsi. Tapi sayang sekali ayah tidak pernah ke tingkat nasional karena kandas dikalahkan oleh tim dari kabupaten lain yang terkenal lebih hebat dengan silatnya. Tapi bagiku ayah tetap pahlawan keluarga bukan pahlawan nasional, ia telah melindungiku ibu dan Sul dari jeratan penjajahan kelaparan. Karena ia adalah tulang punggung keluarga kami dan telah totalitas melaksanakan kewajiban dengan sebaik baik caranya.
Saat ini ia sedang bekerja di perusahaan tambang emas, yang ada diujung timur Indonesia. Ia bekerja disana sejak aku masih di sekolah dasar. Sebelumnya ia hanya seorang petani yang berkewajiban membiayai keluarga dari hasil garapan cangkulnya. Ia sangat menyenangi pekerjaan bercocok tanam. Tapi melihat kondisi keluarga yang masih saja kekurangan. Ia mencari solusi dengan mencoba mendaftar di salah satu perusahaan tambang yang pada saat itu sedang membuka lowongan. Om Khaidir sahabat ayahku yang mengabarinya. Memberinya kesempatan untuk memperbaiki nasib keluarga. Alhamdulillah sejak saat itu keadaan keluarga kami semakin membaik. Sejak ayah bekerja, Om Khaidir juga masih sering bersilaturahmi kerumah bersama istri dan Anaknya (kak Ibnu) . Kak Ibnu sering kuajak bermain bola bersama teman temanku dilapangan, sampai badan berlumuran lumpur. Dan mamah sering mengomeliku karena baju yang dikenakan Ibnu jadi kotor. Meskipun begitu, masih saja kuulangi, karena kak Ibnu memang suka bermain bola.    
Kebetulan ayahku adalah lulusan STM yang saat ini sudah berubah menjadi SMK. Ia seorang petani tapi ahli di bidang mesin. Makanya sepedaku yang sudah kupakai sejak kelas tiga SD sering dia service ketika rusak hanya dengan satu kali kedipan mata. Cepat sekali.  Ia juga tak segan segan mengajariku memegang  kunci kunci. Berusaha menularkan bakatnya kepadaku dalam bidang bela diri dan reparasi, dan aku mulai terbiasa dengan itu.
“Apa - Apaan, anak gadis kenapa disuruh perbaiki sepeda” Protes mamah kepada ayah saat ketahuan sedang mengajariku.
 Ayah hanya senyum dan membela “Biar anakmu bisa mandiri!”
Aku terlalu kagum melihat banyak perempuan yang bekerja disawah, menjual sayur dengan menggunakan sepeda, menjual jamu gendong, supir angkot bahkan tukang tambal ban yang buka ditepi jalan poros yang sering kulalui pun seorang perempuan. Mereka hebat sekali.
Aku dengan segala keluguanku sering memaksa ayah membawaku dengan sepeda ontelnya menonton pertandingan sepakbola di lapangan yang berjarak lima kilometer dari rumahku.  Jarak yang bila dijabarkan melewati tiga dusun, satu pasar dan beberapa ladang persawahan. Aku sangat senang menyaksikan permainan sepakbola meskipun aku seorang perempuan, aku ingin menjadi pemain sepakbola wanita pertama dari kampungku. Aku ingin jadi pahlawan yang berbeda dengan perempuan lainnya yang hanya bisa mempercantik dirinya lalu berjalan dengan tubuh seksinya melintasi pasar pasar, mengundang teriakan penonton untuk menggodanya. Aku ingin menjadi pahlawan karena ketangkasanku melawan kebatilan.
Ketika ayah kelelahan mendayuh sepeda ontelnya, aku biasanya langsung loncat mengambil posisi kuda kuda untuk membelikannya minum. Uang jajan yang diberi ibu aku habiskan untuk membeli es serut lalu kuberikan satu kepada ayah.
“Ayah capek Triani, bisa kamu gantikan ayah mengayuh sepedanya?” pinta seorang ayah kepada anak gadis yang baru berusia sepuluh tahun.
            “Bisaaaaa .... yah” Teriakku lantang. Aku memang suka itu. Kakikku yang harus dibuat kuat agar bisa menjadi pemain sepak bola yang kuat. Aku yang mengayuh sepeda dan ayah yang menyetir. Sebuah kerjasama yang penuh dengan kekompakan. Saat - saat itu yang selalu aku rindukan kala ayah pergi ke pulau paling ujung Indonesia. Konon katanya orang orang disana kadang tidak bersahabat dengan pendatang. Dan itu yang sering membuatku khawatir pada ayah.
            Sejak Sekolah Dasar, aku sudah sering bermain sepak bola di lapangan dekat mesjid sampai Adzan magrib berkumandang. Bermain dengan kebanyakan anak lelaki dikampungku. Yang lebih kusukai adalah permainan berkeringat dan permainan yang memacu adrenalin lainnya, dibanding harus main masak masakan sama Riska dan Sinar. Menurutku itu sangat tidak menarik. Tidak ada makanan asli yang bisa disantap. Pura pura masak, pura pura makan, hanya berpeluang membuatku untuk terus pura pura bahagia memainkannya. Sangat membosankan !
Bermain layangan, atau mencari ikan ikan kecil ditepi disungai bersama anak laki laki lainnya, hanya aku dan Fira, anak perempuan yang berani mengikuti permainan anak lelaki  lainnya. Ibu sering melarangku karena mengira permainan permainan itu memiliki kemungkinan lebih besar untuk cedera parah, tapi ayah selalu membelaku dengan dalih permainan itu memberi lebih banyak pelajaran dan baik untuk pembentukan fisikku. Ibu selalu memaksaku bermain dengan Riska dan Sinar, bersama boneka yang dimiliki Riska. Dirumahnya sangat penuh dengan mainan anak perempuan yang begitu manja. Malas sekali rasanya kalau seharian harus terkurung dirumah Riska karena ibu mengawasi.
Saat Fira datang memanggilku  bermain. Aku sering kabur diam – diam. Menyelinap kalau ibuku dan ibu Riska sedang memasak di dalam dapur. Berlari seolah membawa bendera kemerdekaan ke lapangan yang berada di dekat masjid dan bermain bola lagi.
Paman Jamal kembali menghantam kubangan air yang masih mengendap dijalanan pasca hujan tadi siang. Mobil yang dikendarai pun tiba didepan rumah sederhana kami. Setelah semua  lelah terbayarkan. Ayah merebahkan diri di sofa, kusambut ayah dengan menceritakan kisah menarik dariku selama setahun ini. Aku berhasil membawa nama baik sekolahku menjadi juara di ajang futsal antar SMK sekabupaten. Dan masih banyak lagi prestasi non akademik yang kuraih.
 “Itu semua berkat ayah” Kataku padanya dengan tulus. Tangan ayah luka karena mengalami kecelakaan kerja, ia ceritakan dengan jujur ketika sampai dirumah ditemani suasana hangat kue pia’ yang biasa ibu buat untuk kami sekeluarga. Sul menceritakan kisahnya yang menjadi juara kelas dan mewakili sekolahnya di lomba cerdas cermat, adikku yang sedikit pemalu ini memang jago di bidang akademik. Berbeda denganku yang jago di bidang olahraga, mungkin karena adikku lahir di musim hujan, itu yang membuat otaknya encer, dan aku lahir di musim panas, itu yang membuatku selalu gerah dan mencari keringat.
Ayah kembali menceritakan kondisi tempat kerjanya yang saat ini sedang memanas karena terjadi demonstrasi tentang perpanjangan kontrak. Kejadiannya rumit, dan membuat beberapa temannya harus mencari pekerjaan lain. Ayah baru dapat cuti setelah setahun bekerja.
Tidak mengapa, yang penting bagiku saat ini ayah telah tiba dirumah dengan selamat. Ditenggah perbincangan hangat sore ini. Ayah memberiku wejangan lagi. “Trianiku sayang, kamu harus kuat dan menjadi pelindung keluarga yah”
“Iyah ayahku sayang, tidak perlu bilang pun, Triani akan tetap kuat dan akan menjadi pelindung keluarga.”
Ia tak ubahnya seorang bung tomo bagiku. Selalu menyemangati dengan kata katanya yang membuat semangatku terus berkobar. Berkobar untuk terus belajar dan belajar. Ayah selalu berusaha  menuruti keinginanku, tapi ia akan sangat marah besar ketika aku tidak mendirikan sholat atau kabur saat belajar mengaji. Kalau ayah marah dibagian ini, giliran ibu yang sebagai guru mengajiku yang membela. Mereka adalah orang tua yang punya cara masing masing untuk mendidik. Dan aku yang perlu tuntunan menjalani kehidupan dunia ini adalah ladang mereka untuk menanamkan nilai nilai moral  kehidupan, yang kelak akan menjadi senjata untuk kembali mereka pakai.  Dikemudian hari.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar

Like this ya