H-1, Besok sudah berangkat. Beberapa persiapan harus
dirampungkan malam ini. Sebagai pemenuhan kebutuhan konsumsi Asrul dan Wawan
sebagai leader dan co-leader yang mengurus semuanya. Kami berangkat dari
Bontolabbu Bantimurung pada pukul 08.00
wita, bergerak melajukan motor ke arah selatan Maros kemudian masuk ke
wilayah Malino.
Karena sudah pernah ke tempat / jalan yang sama sebelumnya,
saya tidak usah jelaskan, baca saja disini (Trip ke hutan pinus lembbanna) :D.
Kami tiba di rumah warga sekitar pukul 10.30 karena
perjalanan yang cukup santai, sembari menunggu Fandi, si guru yang harus
menunaikan kewajibannya untuk mengajar. Kebetulan hari itu hari jum’at, kami
menunaikan sholat jum’at di kampung Lembanna yang air nya seperti air lembah.
Sangat dingin, walaupun siang itu sangat cerah. Sebelum nanjak, tak lupa Wawan
si bendahara membeli bakso yang sengaja tidak diberi air untuk dikonsumsi
dengan bumbu pecel nanti malam.
Pukul 16.00 kurang lebih, ba’dda ashar perjalanan baru
dimulai. Setelah memastikan posisi kendaraan dalam keadaan aman, kami
tinggalkan rumah yang dijadikan base camp alias tempat penitipan motor dan
helm. Melewati kampung lembanna yang umumnya warga disini bekerja sebagai petani sayur membuat
perjalanan sehat ini terasa begitu sehat. Semoga saja sehat sampai ke atas dan
sehat pulang kembali.
Titik nol berada di hutan pinus lembanna. Kami berdoa disana,
berdoa yang baik baik saja tentunya. Kami tidak saling mendoakan yang buruk
antara satu dengan yang lain karena kami tidak saling bersaing memperebutkan
hati seseorang, kami hanya ingin menaklukkan puncak Bawakaraeng. Puncak
tertinggi kedua di sulawesi selatan. Berangggotakan tujuh orang, kami satu tim
sekarang, dan kami wajib saling menjaga satu sama lain. Apapun yang terjadi
satu lelah, harus lelah semua, satu makan, makan semua, satu tidur, tidur
semua, bercerai kita runtuh eh salah, Bercerai kita akan kawin lagi. kwkwkw.
Pos nol ke pos satu dilalui dengan santai karena masih ada
sisa tenaga dari warung bakso tadi. Meskipun sudah dibanjiri keringat itu
sangat lumrah bagi pendaki amatiran seperti kami. Eh, kecuali Accul, Fandi dan
Wawan, mereka mungkin sudah menyabet gelar pendaki menghampiri handal karena
mereka didikan sispala buterfly waktu SMA dulu. Tapi yah, pendaki handal adalah
manusia juga pastilah ada lapar dan haus yang menjadi kawan dalam perjalanan.
Dari pos nol ke pos satu ini kami masih dapat jaringan
internet. Meskipun samar samar dan terkesan dipaksakan karena kami sepertinya
harus update status “otw gunung,.. bla bla bla” atau kata kata alay semacam itu
yang pasti cukup memberi kabar masyarakat dunia maya bahwa kami ke gunung dan
kami akan bahagia, udah itu saja.
Cukup panjang dan trek yang dilalui cukup landai karena masih
tahap awal, akhirnya ditemukan pohon yang diatasnya tertempel papan hitam
berukuran kecil sekitar dua puluh kali sepuluh centimeter yang bertuliskan “pos
satu”. Tulisan semacam ini akan menjadi tujuan kebahagiaan kami sebanyak
sepuluh pos kedepan. Di pos satu, terdapat dua jalur, kalau ke kiri maka itu
adalah jalur ke Pos dua Gunung Bawakaraeng, kalau ke kanan itu adalah jalur ke
lembah Ramma.
Pos satu ditandai dengan pohon ini |
Pos satu menuju dua perjalanan lebih singkat dari sebelumnya,
yah, namanya gunung kami hanya melihat pohon, tanah, batu, langit dan sesekali
bentangan kayu yang tumbang menantang kami untuk terus berjalan. Di pos dua
ditandai dengan adanya aliran air yang biasa digunakan hewan hewan disini untuk
minum. Sapi sapi yang berkeliaran disini cukup gemuk, mungkin karena makanannya
sehat sehat dan jauh dari bahan kimia.
Pos dua ke pos tiga juga relatif singkat karena sore yang
membuat udara sejuk semakin dingin. Di
pos tiga ini, saran dari fandi sebaiknya tidak usah istirahat kalau memang
masih kuat. Konon katanya ada cerita mistis disana. Kami mengikuti saja
sarannya karena kami memang masih kuat. Bukan pura pura kuat. Hutan lumut sudah
mulai menyambut disini, beberapa batang pohon terlihat sangat putih seputih
salju, katanya pohon itu sudah ganti kulit, kayak ular. Entah itu benar atau
tidak untuk amannya saya percaya saja.
Kondisi semakin gelap, sampai di pos empat ditandai dengan
adanya kuburan yang konon katanya itu adalah kuburan pendaki tempo dulu. Setiap
pejalan yang melewati pos empat ini singgah untuk mengirimkan doa (Islam;Al-fatiha)
untuk penghuni kuburnya, semoga arwahnya tenang di alam sana. Para pejalan sudah terbiasa dengan letak
kuburan yang pas di bentangan pos empat, jadi tidak begitu horor.
akibat telah terbakar |
Dari pos empat ke pos lima kondisi sudah benar benar gelap,
kami mengupayakan pencahayaan dari head
lamp, power bank, ataupun dari senter hape
masing masing. Agar kami bisa berjalan sesuai arah yang benar, Fandi tetap
menjadi garda terdepan dan Asrul sebagai garda terbelakang (maksudnya yang
paling belakang;penutup). Kondisi yang gelap gulita dan dingin yang sudah mulai
menyeruak merasuk ke tulang tulang pemuda kelaparan ini, langkah yang terus
dipacu karena kami harus sampai ke pos lima. Pos ini biasanya digunakan para
pendaki untuk camp sembari memulihkan tenaga. Kurang lebih pukul
delapan malam, kami tiba di pos lima, berbagi tugas, ada yang memasang tenda,
ada yang menyiapkan makanan, dan ada yang mengambil air dari di jarak yang
cukup menguras tenaga. Setelah tenda terpasang, tak lupa sholat yang menjadi
kewajiban setiap muslim harus kami tegakkan. Bukan hanya kebenaran dan keadilan
yang harus ditegakkan.
Lapar dan dingin yang menggerogoti membuat kami harus
makan untuk energi yang bertahan. Wawan yang koki andalan memasak menu
kesayangannya, bumbu pecel dicampur bakso yang dibeli tadi sore. Kami
melahapnya dengan sangat girang, seperti anak ayam yang sangat kelaparan dan
bersorak gembira ketika melihat makanan.
Setelah makan, ngopi sebagai menu sunnah tak lupa kami
kerjakan. Setelah itu, jangan lupa tidur. Jangan tidur terlalu larut karena mau
dibilang jago begadang. Ini di gunung dan ketahanan fisik adalah hal yang utama
kalau mau pulang dengan selamat. Otot yang dipacu sedari sore tadi harus
diistirahatkan untuk melewati lima pos lagi besok.
Malam yang indah, kurasakan lagi rasanya tidur diatas tanah
yang dilapisi matras dibawah naungan kemah, beratapkan langit dipenuhi bintang.
Dari pos lima terlihat di kejauhan kota Makassar kilauan cahaya lampu penemuan
Thomas Alfa Edison yang menjadi sejarah dan memberi terang rumah warga kala
malam tiba. Tapi dari sini kurasakan kilauan cahaya dari sang pencipta manusia,
sang pencipta penemu penemu hebat yang memberi cahaya dan penerang kehidupan
bagi seluruh ummat manusia, ialah Allah Swt.
Sabtu malam dilewati dengan mimpi mimpi indah yang
diceritakan kala pagi menghampiri. Bersama segelas energen dan hewan "guk guk"
yang menggeliat hebat di sekitaran tenda kami. Pagi yang teduh, setelah makan
kami kembali membereskan tenda dan perlengkapan lainnya untuk melanjutkan
perjalanan ke puncak. Tak lupa jeprat jepret ria mengisi aktivitas pagi itu.