Bira, pantai pasir putih terbaik
Sulawesi Selatan
Pantai Bira |
Ya, tepat hari ketiga pasca
lebaran 1438 H (2017 Masehi), 28-30 Juni 2017. Rencana untuk kedaerah pantai
pasir putih ini akhirnya terealisasi. Tepat pukul 10.30, sepeda motor yang
sudah memenuhi standar untuk melakukan perjalanan jauh akhirnya melakukan
tarikan gas pertamanya menuju arah selatan pulau sulawesi ini. Dua kendaraan roda
dua ini melaju dengan kecepatan standar, karena satu mobil belum berangkat.
Sembari menikmati perjalanan melalui Kabupaten Maros, memasuki kota Makassar
dan Melalui kabupaten Gowa akhirnya tiba di kabupaten Takalar untuk menanti
waktu sholat dhuhur.
Mobil yang berisikan sepuluh
orang baru berangkat ba’dda duhur. Saya Nawir dan Ariawan mendahului beberapa
puluh kilometer, kami menyempatkan singgah di rumah ayah nawir yang ada di
Jeneponto, sembari bersilaturahmi menikmati makanan khas lebaran, dan melanjutkan
ke masjid Agung kabupaten Jeneponto saat ashar tiba. Ba’dda azhar, perjalanan
kembali dilanjutkan. Kabupaten Jeneponto yang terlihat kering di beberapa
tempat membuat para penambak garam bahagia, beberapa hektar tambak garam
terlihat memenuhi pandangan dengan rumah rumah khas untuk menampung garam.
Alun Alun Pantai Seruni |
Setelah melalui tambak garam,
Kabupaten Jeneponto yang cukup subur terlihat di sisi selatan ketika hendak
memasuki kabupaten Bantaeng. Cukup menarik perhatian, Setelah memasuki
kabupaten Bantaeng yang begitu tertata rapi kami menyempatkan singgah di pantai seruni, setelah memarkir motor yang
diatur langsung oleh satlantas bukan juru parkir liar. Keramaian Kabupaten Bantaeng cukup terlihat
disini, pantai yang di depannya berdekatan dengan rumah sakit dan lapangan
membuat banyak masyarakat menghabiskan waktu sorenya disini. Ada yang bermain
di lapangan sambil berkejaran, ada yang olahraga, dihiasi penjual halus manis
yang kebanyakan penjualnya adalah anak anak. Di luar lapangan disediakan dokar
yang beberapa pengunjung bisa menyewanya untuk berkeliling sekitar kawasan ini,
di pantai seruni juga tersedia beberapa permainan anak - anak membuat kawasan
pantai ini menjadi sentral kunjungan pantai yang menarik. Kami tiba disini
sekitar pukul 17.00 sembari menunggu
teman yang berkendara roda empat tadi. Cafe cafe juga berjejer rapi di tepi
pantai seruni ini. kebanyakan dari mereka menjual jus yang bisa membantu
melepas dahaga setelah seharian berkendara. Kami memilih box cafe, yang uniknya
cafe ini terbuat dari box container yang di modifikasi sekreatif mungkin.
Letaknya pun berdampingan dengan masjid yang pada saat waktu sholat tiba,
masjid ini full bahkan sampai diteras, itu yang membuatku beranggapan bahwa
kabupaten ini cukup beradab, disamping banyaknya
slogan slogan islami semisal “sudahkah anda sholat” yang terpampang di pinggir
jalan.
Ba’dda isya perjalanan kembali
dilanjutkan, kami sempatkan singgah di “Balla Lompoa Bantaeng”. Jika tampak
dari depan ukurannya terlihat lebih kecil dibanding Balla Lompoa Gowa. Tapi
desainnya begitu tradisional dengan dinding kayu yang mengkilap diterpa sinar
lampu LED. Didalamnya pun begitu khas dengan gemerlap lamming khas bugis
makassar.
Balla Lompoa Bantaeng |
Melewati rentetan pepohonan,
rumah warga dan laut kabupaten Bantaeng yang tertata rapi, akhirnya kabupaten
Bulukumba pun menyapa. Aktifitas warga sudah tidak begitu nampak karena waktu
sudah menunjukan pukul 21.00. Karena saya berada pada tempat duduk kedua di
atas sadel motor, saya bebas mengamati keadaan sekitar, bagaimana kondisi
masyarakat, bentuk bentuk rumah, tatanan kota dsb. (maklum baru kali ini
kesini). Gas kendaraaan kembali dikendorkan kala tiba di alun alun kota
Bulukumba. Sembari memastikan tuan rumah yang akan kita datangi rumahnya sudah
siap menyambut kami tiga belas pemuda lajang yang katanya hendak berlibur ini.
Pukul 21.30 kendaraan kembali
bersandar di salah satu rumah teman kuliah dari Adi (sebut saja leader). Rumah
panggung yang berada di jalan poros menuju pantai Bira ini berhadapan langsung
dengan rumah warga dan empang setelahnya. Kami yang sedari tadi sudah sangat
kelelahan tingkat sedang ini mencoba membersihkan diri, mengisi perut dan
mencari pembaringan yang memenuhi tingkat nyaman untuk meluruskan punggung yang
mencoba kokoh di atas motor seharian. Bukannya sok kuat, tapi kami hanya ingin
merasakan bagaimana si penunggang kuda pada masa peperangan di jaman nabi dulu
merasakan kehebatan berkuda (bedanya kami hanya penunggang motor).
Subuh kembali menyingsing, adzan
subuh yang sayup sayup kedengaran di telinga orang orang yang kelelahan akan
sangat minim bahkan bisa sampai hilang. Jika tidak dibarengi keinginan untuk
bangun yang lebih besar habislah kita dengan godaan syetan yang terkutuk.
Suasana pagi sama saja. Sejuk dengan
suara burung yang berlomba, kebetulan burung disini berada dalam sangkar, di teras
rumah panggung milik Feri. Di seberang jalan terlihat empang milik warga
sekitar, dan di kejauhan terlihat kubangan
air yang biasa disebut laut. Beberapa
anak muda yang masih melanjutkan tidurnya dengan lelap, terpaksa harus bangun
karena ibu Feri yang sangat antusias menyambut kami selalu mengajak makan
dengan ajakan yang sulit kami tolak. Beberapa anak muda yang tahu diri hendak
membantu pekerjaan dapur seperti; memasak dan cuci piring mendapat teguran
keras (ala guru BP) dari ibu yang memiliki nama Marliang ini. Beliau sangat
memuliakan tamu, membuat kami merasa tidak
enak karena Feri tidak memiliki saudara perempuan yang bisa membantu
ibunya. Untung saja ada tante Feri yang turut membantu . Mereka menyiapkan
semua persiapan piknik kami dari segi logistik (makanan), ada ayam dan cobe’
cobenya serta makanan lain.
Pantai Bira
Pukul 10.00 kami melanjutkan
perjalanan ke tujuan utama “pantai bira” jarak tempuh dari rumah Feri ke
pantai bira memakan waktu sekitar kurang
lebih satu jam. Suasana laut begitu kental terasa ketika sudah melewati gerbang
pembayaran karcis yang dikenakan per orang dan per motor. Kami memilih lokasi istirahat yang bersentuhan langsung
dengan pasir. Pasir putih tepatnya. Kami tiba saat matahari menyengat apa saja
yang berada diatas kilauan pasir putih ini (harap memakai kacamata). Tapi,
meskipun panas begitu menyengat itu tidak menghalangi para pengunjung libur
lebaran ini menikmati suguhan air laut di salah satu pantai terbaik Sulawesi. Ada beberapa wahana yang ditawarkan, seperti permainan
banana boat, donat boat, dan bagi traveler yang ingin melihat penyu bisa
mengunjungi pulau liukang dan pulau kambing.
Keseruan bermain di pantai dengan
suguhan pemandangan laut yang begitu biru tidak lengkap tanpa santap siang di
gasebo yang disediakan. Tak lupa kami membuka bekal yang dibuatkan oleh ibu
Feri, masakannya lezat apalagi dinikmati oleh para pemuda yang kelaparan.
Beberapa teman yang berusaha
menikmati permainan airnya mencoba
banana boat, mungkin rasanya sama saja di pantai lain, sensasinya saja yang
beda dengan lokasi yang beda dan teman yang beda. Pasir putih yang terhampar di
sepanjang pantai membuat anda bebas menikmati dari sisi mana saja. Pengunjung
yang tidak mempunyai kerabat di sekitar kabupaten Bulukumba bisa memanfaatkan
fasilitas penginapan dengan tarif yang berbeda beda, tergantung jenis dan
ukuran penginapan yang diinginkan.
Tebing Batu Apparalang
Petunjuk arah ke Apparalang |
Setelah lelah bermain air di
pantai bira, kami melanjutkan trip ke Apparalang, suguhan tebing batu menjadi ciri
khas tempat dengan karcis hanya Rp. 5000 per motor ini. Lokasinya cukup luas
bisa dinikmati dari beberapa spot. Kami memilih spot yang paling tinggi dengan
pemandangan cekungan tebing yang terlihat mengerucut ke laut. Setelah puas
mengambil gambar disana, kami mencoba spot dimana pengunjung bisa menuruni anak
tangga yang berjumlah puluhan. Cukup tinggi dan terbuat dari kayu. Di bagian bawah, banyak pengunjung yang
membasahi tubuhnya dengan loncatan loncatan indah ke laut, mandi disini
terlihat lebih menantang, dengan hantaman air laut ketebing yang membunyikan suara
hempasan.
Sungguh indah apa saja yang
diciptakan tuhan, untuk dinikmati dan dimanfaatkan anak cucu adam. Dari sisi
lain mungkin sisi utara apparalang, terdapat spot yang juga menarik, beberapa
teman sudah berada disini lebih dulu. Mengambil beberapa gambar lebih
banyak dari kami. Disisi ini terdapat jembatan kayu yang
menghubungkan daratan batu yang ada disisi tebing batu. Pengunjung terlihat
begitu bahagia dengan spot spot terbaik pilihan mereka. Kami disini hingga
magrib menjelang. Sayang sekali sunset tidak bisa terlihat di sisi timur Bulukumba ini. karena seharian
berpetualang meskipun hanya dua spot yang sempat kami kunjungi (karena akan ada
trip selanjutnya kesini), lelah yang menyeringai membuat kami memutuskan untuk
kembali ke rumah Feri. Menikmati malam dan esoknya kembali ke kampung halaman.
Perjalanan pulang dihiasi dengan
hujan di beberapa titik di beberapa
kabupaten, hanya di Takalar sampai Maros saja yang tidak diguyur hujan,
alhamdulillah perjalanan aman aman saja. Semoga seaman dan setentram perasaan
yang didamaikan ketenangan hamparan laut dan menghempas perasaan buruk ke
tebing apparalang hingga tak tersisah.
Tebing Apparalang |
Pantai Bira |
Nawir-Agus-Idul-Heril-Hanaf-Agung-Surya-Syukur |