Gagah perkasa melantunkan adzan di ruangan persegi sebuah rumah
bersalin. Ayah dengan suara merdunya diiringi tangis yang sakral membersamai
kalimat terakhirnya. Sebuah tangis yang dinanti setelah perjalanan dibalut
perjuangan mengandung sembilan bulan. Triani Nur Rahma. Sebuah nama yang ayah sematkan
padaku dihari kedua udara dunia seutuhnya menyelinap, menyatu memasuki pori
pori dan pernapasanku. Entahlah, atas
dasar apa ayahku tiba tiba saja menjadikan nama itu pilihan terakhirnya. Jika
saja aku sudah bisa bicara waktu itu, aku akan protes mengapa harus Triani, aku
anak pertama bukan anak ketiga. Harusnya nama yang ia sematkan pakai imbuhan yang
kesannya ‘pertama’, semisal fisrtiani,
agak kebarat barat dan itu lebih keren. Uhh...
ayah!.
Kata mamah, namaku baru ditemukan di hari kedua. Itu karena
ayahku harus menghubungi paman yang katanya seorang ustad. Dan kebetulan waktu
aku lahir, ayahku tidak memiliki handphone,
jadilah ia harus meminjam handphone
suster yang waktu itu minim pulsa. Ayah menelpon pamanmu sampai kedengaran
bunyi tutt..tutt..tutt.. Itu pertanda
bahwa pulsanya sudah habis. Hihihi.
Hari ini aku sedang bersantai dirumah. Kuminta Mamah
menceritakan tentang kisah kenapa nama ini disematkan padaku.
“Suster, boleh saya meminjam handphone
suster?” Pinta ayahmu dengan wajah memelas.
“Mau ngapain
pak?” Tanya suster itu penasaran, karena baru kali ini ada pasien yang mengemis
untuk meminjam handphonenya. Maklum
saja, waktu itu handphone masih
menjadi barang asing yang hanya dimiliki oleh para bangsawan yang memiliki
kuasa untuk memasuki toko elektronik, membeli dan membawanya pulang. Untuk
orang sekelas ayahmu itu yahh mana bisa !.
“Ke wartel aja
pak” Suster itu menyarankan.
“Wartel Jauh
Mba’, lagian saya Cuma mau minjam sebentar doang kok”. Pinta ayahmu dengan nada
sedikit memaksa.
“Karena kasihan dengan ayahmu, yang saat itu lagi kere-kerenya ditambah
lagi harus membiayai persalinan. Akhirnya suster itu meminjamkannya. Mungkin
suster itu cukup pengertian karena melihat kondisi kami pasangan muda yang
belum begitu berkecukupan. Dan saat itu
tidak ada sanak saudara yang mengunjungi kami. Kamu begitu dadakan keluarnya,
perut mamah rasanya sakit sekali kau tendang dari dalam. Seperti pemain bola
yang bertanding pakai jurus silat, entah jurus tendangan macam apa yang kau
keluarkan. Saat itu ayahmu sangat kelabakan melihat mamah mengerang kesakitan.”
Saat bercerita kulihat wajah perjuangan mengalahkan sepuluh
banteng terkuat didunia ini dari mamahku. Saat berhasil Kembali ia ceritakan
masa ketika aku dilahirkan.
“Malam itu mamah merasakan sesak yang teramat, jantung mamah
berdetak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Mengalahkan detak ketika pertama
kali bertemu ayahmu. Perut mamah sakit bukan main. Saat itu mamah berdoa semoga
diberi anak yang kuat, sebagaimana kuatnya mamah menahan sakit itu. Selama
perjalanan kerumah bersalin kamu terus terusan menendang, seolah tempat tinggal
kamu selama sembilan bulan ini sudah begitu kecil, sekecil bola. Dan lihatlah
dirimu ini engkau mirip samsonwati, sangat kuat.” Ujar mamah sambil mengelap
peluh dikeningnya.
“Ah mamah.. Kupeluk mamah erat dan manja setelah menceritakan
hal itu.
“Jangan kau cekik mamah dengan pelukanmu, sudah cukup mamah merasakan
sakit waktu itu.” Mamah menggosok kepalaku dengan tangannya yang lembut. Aku
dan mamah tertawa. Aku senang sekali ketika mamah mendongeng tentang masa
kecilku. Meskipun aku tergolong cewek yang agak keras dan sedikit jail,
menurutku pelukan mamah adalah pelukan terhangat sedunia.
Dalam pelukan mamah yang begitu hangat, membersamai hujan deras
diluar sana kupinta mamah melanjutkan ceritanya.
“Dulu waktu ayahmu menelpon paman untuk menentukan namamu,
pamanmu malah menyarankan nama hmm...
siapayah dulu itu?” Tanya mamah pada dirinya sendiri seolah mengingat kejadian belasan
tahun yang lalu.
“Siapa yah waktu itu? mamah lupa. Ttapi namanya tidak terlalu
menarik sih menurut mamah. Mamah minta pilihan yang lain, nah dia kasih Nur
Rahma ini” tutup mamah dengan ekspresi senyum centil.
“Lah, kok namaku ada Trianinya itu ngambil dari mana mah?”
tanyaku penasaran.
“Biarpun kita orang kampung, ayahmu lah pencetus nama itu.
Triani itu Tri dan Ani. Tri karena kamu lahir di tanggal tiga dan Ani adalah
panggilan sayang ayah ke Mamah. Ayahmu itu sering memanggil Mamah dengan Ani,
sambil berusaha menyamai suara Rhoma Irama si penyanyi dangdut legendaris itu.”
“Ayah kreatif juga yah mah, dia juga romantis ke mamah” Kulihat
senyum merekah di wajah mamah ketika aku mengutarakan itu, mamah sangat sayang
sama ayah dan itu terbukti dari kesetiaannya selama ayah pergi.
Sepengetahuanku, kalau namaku diartikan secara harfiah “Triani
Nur Rahmah” adalah tiga-cahaya-kesayangan. Tapi setelah kupikir pikir lagi,
kalau nama itu terlalu manis dan anggun melihat kelakuanku yang sekarang. Aku
belum paham betul makna sebenarnya dari tiga cahaya kesayangan itu. Dan aku
tidak begitu percaya dengan Tri yang disematkan ayahku hanya karena alasan
tanggal kelahiranku, aku yakin pasti ada makna lain dari nama Triani itu. Akan
kucari dan kutemukan kelak ! lihat saja.