Sore
dikala hujan sedikit lagi menyiratkan basahnya menikmati perjalanan kami menuju
kabupaten Barru. Menuju arah utara provinsi Sulawesi Selatan dari arah Maros dan 102 km utara kota makassar,
tempat tinggal kami. Dengan kecepatan diatas rata rata motor kami melaju
diantara lampu lampu jalan dan tiang tiang listrik yang terpampang rapi di
pinggir pinggir jalan Kabupaten Pangkep diiringi kabut gelap dari arah timur
yang mungkin saja sebentar lagi akan menumpahkan air
yang telah ditampungnya dan senja yang menawarkan kilau emas sebagai penggoda mata di sore itu. Sesekali kami melewati daerah persawahan, empang dan beberapa penjual “dange” (makanan khas Pangkep) di bagian utara kota pangkep yang sudah mulai menyalakan lampu lampu penerang mereka.
yang telah ditampungnya dan senja yang menawarkan kilau emas sebagai penggoda mata di sore itu. Sesekali kami melewati daerah persawahan, empang dan beberapa penjual “dange” (makanan khas Pangkep) di bagian utara kota pangkep yang sudah mulai menyalakan lampu lampu penerang mereka.
Bersama
pengendara lain yang seolah tak ingin disengat dinginnya malam atau tak ingin
menikmati sore yang indah di atas kendaraan atau mungkin takut terkena hujan, saya bersama kedua motor teman saya start pada pukul 17.30 dari Maros dan tiba sekitar pukul 19.00 di tempat tujuan, yaitu desa nelayan di pesisir pantai kota Barru. Menikmati hembusan ombak dipinggir pantai kami singgah untuk sekedar melepas dahaga setelah berkendara kurang lebih satu jam setengah melampaui tiga kabupaten.
menikmati sore yang indah di atas kendaraan atau mungkin takut terkena hujan, saya bersama kedua motor teman saya start pada pukul 17.30 dari Maros dan tiba sekitar pukul 19.00 di tempat tujuan, yaitu desa nelayan di pesisir pantai kota Barru. Menikmati hembusan ombak dipinggir pantai kami singgah untuk sekedar melepas dahaga setelah berkendara kurang lebih satu jam setengah melampaui tiga kabupaten.
Tujuan
kami sebenarnya untuk memenuhi undangan salah satu keluarga tetangga saya untuk
mampir sekedar menikmati ikan ikan dari Barru yang lezat itu. Rumah panggung
yang menjadi tempat berlabuh kami malam ini memang sederhana dan tepat
dibelakang rumah inilah merupakan sambungan dari pinggiran pantai Ujung Batu
yang merupakan salah satu daya tarik kota yang didirikan tahun 1961 ini. Sekedar penasaran karena kami
tiba pada malam hari jadi belum sempat melihat keindahan pantai ini saya bersama
rekan saya hendak menengok pemandangan malam hari di pantai ini. Ternyata
banyak sudah banyak kepiting yang sudah melubangi pasir disepanjang tepian
pantai ini. Seolah takut melihat sosok kami, pada saat berjalan disekitar
pantai ini para kepiting kepiting itu berlarian kedalam air laut yang sedang
surut ini. Kembalinya dari sini. Kami menjadi semakin penasaran dengan rasa
ikan ala desa nelayan ini. Segera tuan rumah mempersilahkan kami mencicipi ikan
merah bakar yang lezat ini. Sangat lahap nampaknya teman saya menghabiskan itu
sampai hampir saya tak kebagian. Terlintas dibenakku saat itu, “sekarang
mungkin saatnya kita kelebihan ikan dikarenakan matapencaharian orang orang
disini yang sebagai nelayan yang harus membeli beras, bertolak belakang dengan
keadaan dikampung yang berasnya yang didapat sendiri dan hampir setiap hari
harus membeli ikan sekedar untuk dijadikan pelengkap saat makan”.
Kala
pagi menghampiri terik matahari yang tidak terlalu silau ditempat ini karena
letak rumahnya agak dibelakang dan terlindung oleh pohon. Namun tak membuat
kami bermalas malasan untuk bangun pagi. Hembusan air dipantai belakanglah yang
membangunkan kami ‘maklum dirumah hanya suara ayam dan burung saja yang
terdengar dikala pagi jarang jarang kami mendengar suara gugusan air ini.
Segera kulangkahkan kaki beranjak untuk menemui kepiting kepiting semalam yang
menyapaku ^_^. Kembalinya dari pantai kembali kami menikmati hidangan ikan
bakar lagi tapi ukuran ikannya kali ini agak berbeda dengan ikan yang
sebelumnya, ukurannya bertambah kecil hehe mungkin persediaan ikan besarnya sudah
habis semalam. Tapi itu semua sungguh lezat dihidangkan bersama cobek khas yang
dibuat oleh teman saya sendiri.
Dikala
matahari sudah nampak seperempat hari, kami diajak situan rumah yang juga
merupakan penjaga pantai ujung batu itu untuk menikmati keindahan pagi diujung
batu. Tak terlewatkan olehku untuk meminjam ban yang biasa disewakan antara Rp.
5000 – Rp. 10.000 tapi itu semua gratis bagi kami. Wah spesial sekali nih
deberi kesempatan untuk memilih, dan kuambil yang paling besar. Bersama kami
menikmati asinnya pantai ini sampai kulit terasa kering dan berpasir. Tempat
ini juga dilengkapi dengan penyewaan motor mobil atau apalah namanya yang bisa
dipakai oleh anak anak atau orang dewasa biasanya berkisar Rp. 10.000 satu kali
jalan mengelilingi tempat yang tak bergitu luas ini. Tempat ini juga delengkapi
fasilitas aula atau tempat tempat penyewaan untuk istirahat.
Tapi ada satu hal yang mengganjal hati kala
berkunjung ketempat ini. Kebersihan yang kurang diperhatikan oleh warga sekitar
membuat mata para pengunjung tak begitu tersolek. Hamparan puing puing rumput
laut yang hampir dari ujung utara sampai ujung selatan selalu terlihat.
Sebaiknya para pengelola menyewa seseorang untuk membersihkannya setiap hari
mungkin saja itu bisa dimanfaatkan atau
diolah sebagaimana mestinya, tak bisa saya paparkan cara pengolahannya karena
saya bukan tukang olah rumput laut Hehe.
Mengenai harga tiket masuk ke ujung batu Barru ini saya masih kurang tau karena
kami lewat dibagian selatan, mungkin pintu untuk para pegawai tapi
sepengetahuan saya harga tiketnya tak lebih dari Rp. 10.000.
Selepas
saya menghilangkan penak setelah ujian nasional yang agak rancau tahun 2013
ini, saya bersama empat orang teman saya berniat untuk kembali pulang kekampung
halaman yaitu di Maros. Tak lupa kami menyinggahi tempat penjualan “dange” dikota Segeri Pangkep untuk
membeli oleh oleh kepada kerabat dirumah. Tapi sayang perjalanan pulang kami
disore ini tak berjalan mulus karena dipertengahan jalan antara kabupaten
Pangkep dan Maros hujan deras melanda, Jadi kami harus singgah bernaung ditoko
pinggir jalan setempat. Setelah hujan agak reda kami melanjutkan perjalanan dan
tiba dirumah sebelum adzan magrib berkumandang.
(kandang, karangan narasi)