Tiga hari di Kota Palopo

21:56

Kira kira seperti ini ceritanya.



Pukul 20.00 kita sudah diantar sama Muhlis menunggu mobil di stasiun Maros (baca : pinggir jalan, depan SMK Kebangsaan). Alhasil, bus langsung tiba beberapa menit kemudian, barangkali tak cukup sepuluh menit. Setelah terjadi proses tawar menawar yang dramatis yang intinya menjual status (mahasiswa) biar harganya murah. Akhirnya dibolehkan naik *Mungkin dengan sedikit terpaksa*. Perjalanan pun berlangsung murah  meriah, dengan bekal seadanya (untuk kebutuhan perjalanan sendiri, masih sendiri, masih bujang).  Hujan yang mengguyur selama perjalanan membuat tidur semakin lelap. Begitupun dengan penumpang lain. Karena kondisi bus yang lebih banyak kursi kosong, membuat saya lebih leluasa berpindah tempat, dan membaringkan badan (asal tidak berjoget ria). Dan pemberhentian pertama untuk istirahat adalah di kabupaten Barru (supirnya lapar), selama kurang lebih tiga puluh menit.



Melintasi beberapa kabupaten menyusur bagian utara Sulawesi Selatan, tak terasa waktu sudah menunjukan Pukul 03.30. Akhirnya sampai ke Songka’ kecamatan Wara Selatan kota Palopo. Sebenarnya dari beberapa kali kunjungan ke Palopo, baru kali ini mendengar lokasi itu. Tapi, setelah dapat kabar dari kanda Ardi, bahwa tidak usah langsung ke terminal, turun didepan polsek wara selatan saja. Jadilah kita tiba di songka. Rumah baru kace.



Beberapa jam setelah adzan subuh berkumandang. Matahari sudah menampakan wajah lugunya, saatnya buka mata dan rasakan kilaunya. “Don’t you excited when your open your eyes, you in new place”. Benar,  sekarang kita berada lagi ditempat yang berbeda dari biasanya dan sedikit excited, walau belum telusur.



Kebetulan rumah baru kace beberapa kilometer saja dari laut, dan sebelum itu, terpampang empang yang cukup luas (untuk di telusuri). Jadilah kita pagi itu telusuri desa sekitar bersama Nabil. Pemandangan pertama yang terlihat, adalah gerombolan ikan bolu (bandeng) yang menantikan makanan, selanjutnya gerombolan udang dari empang yang lainnya. Dan kepiting yang sesekali menampakan wajah malu malunya sama kita pendatang baru dari area persawahan. Berjalan lebih jauh lagi, eh ketemu pohon jomblo *pohon jomblo lagi* bedanya sama pohon jomblo postingan sebelumnya di Barru yang berada di  bukit ditengah padang rumput yang luas. Kali ini pohon jomblonya berada di tengah empang yang berair hijau.



Budidaya Kepiting Cangkang lunak



                Telusur lebih jauh lagi, terdapat sebuah empang luas yang isinya bukan ikan dan udang, tetapi kepiting yang dimasukan dalam kotak hitam yang sudah dimodel sedemikian rupa. Jika diperhatikan lebih dalam sedalam empang, ada view menarik disini. Cukup interview pekerjanya (ibu – ibu), ternyata kepiting dimasukan dalam kotak agar bisa diambil cangkang yang lunak. Selama sehari bisa tujuh kali panen. Dan pekerjanya dibagi dalam tiga shift, karena cangkang yang sudah siap panen harus selalu dicek setiap saat.  Dan menurut info, cangkang dari kepiting ini diimpor ke luar negeri loh, bukan hanya di pasarkan di Indonesia.

                Walaupun pada pagi itu hanya terdapat sekitar sepuluh lebih pekerja yang memanen cangkang kepiting soka. Tapi mereka bekerja dengan giat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

                Tak jauh dari budidaya kepiting soka ini, sekitar seratus meter, akhirnya tiba di pantai yang tadi hanya bisa diperhatikan dari kejauhan. Airnnya surut, jadi penampakan hutan kayu lapuk dari pohon bakau begitu terasa. Dan angin laut yang sepoi datang menyambut kami dengan riangnya.



***

Hari Kedua, setelah hari kerja yang dijadikan hari cuti. Serbuan teror dari supplier dan rekan kerja kemarin, tergantikan dengan tidur lelap dari kegiatan yang meletihkan semalam. Mengecat rumah sembari mengiringi canda ketiga saudara kandung yang terlalu kegirangan ini. Sambil menunggu pisang goreng buatan mamak yang kabarnya paling enak sedunia (bagi anak anaknya). Saat fajar menyingsing, pagi ini tidak ada jelajah empang lagi (mungkin trauma karena kemarin sempat ditegur saat sedang berjalan di industri kepiting milik warga sekitar yang melarang memotret kegiatan pekerja, tapi alhasil sudah banyak gambar yang diambil. hehe).  Jadilah hari ini, kace masuk ke rumah barunya (peresmiannya). Suara ribut kerabat serta rekan kerjanya yang turut meramaikan acara syukuran cukup membuat kebisingan di pagi hingga siang itu. Rencana mau pergi sejenak, tapi motor terpakai. Jadilah kita jadi pagar ayu siang itu.



Tidak berapa lama, mungkin malaikat mendengar ucapan saya tadi untuk keluar sebentar. Ada seorang nenek yang ingin diantar pulang ke Balandai’ (nama daerah di Palopo).  Saya menawarkan diri untuk mengantar *wujud bakti kepada orang  yang lebih tua* .  Akhirnya punya kesempatan juga ngetrip bareng nenek - nenek. Selama perjalanan, nenek yang baru saya temui ini bercerita panjang tentang kisahnya yang baru seusia SMP sudah menikah, pekerjaan anak anaknya, kegiatan cucu – cucunya. Waktu gadis ngapain saja, pokoknya panjang lebar, sehingga perjalanan menjadi begitu hidup. Pesan hidup yang ditawaran untuk saya adalah “Orang tua bekerja keras diwaktu muda. Di hari tua,  mereka hanya menunggu kebaikan dari anak anaknya”. Dari perjalanan yang begitu hidup ini, saya sempat menanyakan sesuatu ; “nenek masih ingat jalan pulang ?”  Spontan jawaban dari pertanyaan singkat yang saya ajukan ini dijawabnya dengan kisah lagi. -_-. Kurang lebih seperti ini “Saya tuh waktu masih gadis tinggal di sana (sambil nunjuk suatu tempat di kota), dan setelah nikah, saya ikut suami ke Lamasi (nama daerah di luwu) jadi bla bla bla. Jadilah sebuah cerpen. Sebenarnya tujuan saya bertanya, karena saya juga lupa jalan menuju Balandai’.

waduh, kita kesasar nek. Tapi tenang saja, saya bisa baca petunjuk jalan (berusaha menenangkan). Dari beberapa liku jalan yang dilalui, akhirnya jalan poros menuju Masamba kelihatan. Syukurlah, akhirnya bisa membuat nenek ini tidak khawatir lagi.



Cerita tentang nenek berakhir.



Sepulang mengantar nenek tadi, kita coba telusur wilayah Balandai lagi, masuk ke pemukiman warga yang dipenuhi dengan rumput laut yang dikeringkan, melalui pantai, dan beberapa pekuburan cina, kristen yang tersusun di gunung. Tujuan yang dicari adalah view yang berbeda dari biasanya. Setelah lelah telusur, terpercik ide untuk mengunjungi Masjid yang kemarin ditunda untuk sholat jum’at disana. Masjid Jami Tua Palopo.



Masjid Jami Tua Palopo



Siang yang sudah hampir memasuki waktu duhur itu, membuat saya penasaran mengunjungi masjid tertua kedua di Sulawesi Selatan. Setelah mendengar cerita dari kakak, bahwa disana terdapat pohon cinaguri yang paling besar, dan susunan tembok masjidnya yang hanya disambung dengan menggunakan putih telur, (mirip pembuatan piramida di Mesir). Jadilah kita sholat duhur disana. Subhanallah, benar benar indah dan penuh dengan nilai sejarah disini, Arsitektur yang menarik dengan batu yang berwarna abu abu dan begitu tebal, seukuran tujuh kali lipat dari masjid dikampung saya. Atap masjid yang bersusun tiga, dan pintu masjid yang berwarna coklat dengan pengait (paccala) yang masih model dulu.



Disana sudah terdapat banyak ummat muslim yang sedang menantikan waktu zuhur, sembari melihat lihat perlengkapan sholat dan pakaian muslim yang dijual di pelataran masjid. Walaupun ukuran masjid ini sedikit lebih rendah dari masjid masjid baru yang dibangun saat ini. Masjid tua ini merupakan titik nol kota Palopo. Jadi hitungan kilometer dikota ini dimulai dari masjid ini.



Memasuki ruangan masjid, nuansa religius begitu kental terasa, akhirnya terlihat juga cinaguri yang berbatang paling besar ini. biasanya hanya dijadikan sapu (sejenis sapu lidi untuk menyapu halaman, atau dijadikan kayu penunjuk saat mengaji waktu kecil dulu). Cinaguri ini  merupakan tiang utama yang menyangga empat tiang lainnya di masjid ini. menyangga empat tiang artinya (eppa’ sulapa’) dimana arah mata angin ada empat.



Di masjid ini kita berkenalan dengan seorang gadis cilik yang bernama Rika. Katanya dia senang sekali menghabiskan waktu disiini setiap pulang sekolah. Kadang mengendarai ojek, tak jarang juga dia hanya berjalan kaki. Saat menawari pegang kamera, saya langsung memberikannya, dari dialah saya dapat beberapa informasi mengenai keberadaan masjid ini. Berjalan ke arah cinaguri yang berada dalam ruangan berkaca, itu membuatnya kembali bercerita. Konon katanya, orang yang menebang pohon cinaguri ini berikrar bahwa tidak akan ada lagi pohon cinaguri yang sebesar ini. Makanya sekarang cinaguri yang tumbuh hanya sebesar induk jari. Saya sempat menanyakan mengapa pohon ini dipagari dengan dinding kaca. Ternyata, banyak orang yang mengambil potongan kayu dari pohon tua ini sebagai obat atau semacammnya.



Dari papan informasi yang tertera juga terdapat sejarah singkat masuknya islam ke wilayah wilayah yang ada di sulawesi selatan juga terdapat keterangan skema ukuran masjid tua Palopo.  Terima kasih deik Rika sudah berbagi informasi. See you next time.



Pantai labombo

Masih dihari yang sama, sore disaat acara sudah berlangsung dengan meriah tanpa tepuk tangan dari penonton karena ini bukan pertunjukan, ditemani Nabil yang belum mandi seharian karena memegang janji dari omnya untuk mengajaknya berenang di pantai Labombo. konon kabarnya pantai itu yang paling terkenal di kota Palopo ini. Mencoba menyusuri jalan yang sebelumnya belum pernah kami lewati. Hanya sedikit info dari kakak, jadilah explore pantai terjadi lagi.



Karcis masuk ke pantai ini sebesar Rp. 15.000 dihari libur, berhubung karena ini hari sabtu maka tergolong hari libur, itu berlaku untuk semua kalangan baik itu anak anak, dewasa maupun om – om. Lokasi pantai yang menghadap ke arah timur dan memanjang ini membuat pengelola berusaha meningkatkan wahana wisata didalamnya. Terdapat kolam yang berbatasan langsung dengan pantai, terdapat kebun bunga, gazebo dan tempat memesan makanan / minuman. Banyak keluarga yang menghabiskan waktunya disini, sembari menikmati jus dan kue kue ringan disuguhi dengan pemandangan laut dan angin sepoi darinya.



Tak lama berada di pantai ini, karena hari sudah semakin gelap, dan hujan yang mengguyur di bagian utara kota Palopo awalnya kami pikir hujan itu akan segera mengguyur sampai ke selatan palopo akhirnya kami buru buru. Tapi tidak, sampai ke daerah pegunungan saja yang hujan.



***

Di hari ketiga, saatnya jelajah pasar, menemani mamak dan kakak ipar, sudah dua kali bolak balik ke pasar ini, untuk sekedar membeli oleh oleh. Dan oleh oleh utamanya adalah sagu (sebuah makanan yang terbuat dari batang pohon sagu yang dibungkus dengan daun). Makanan ini menjadi bahan utama dalam pembuatan kapurung (papeda).



Its day to quality time. Mengajak kemanakan kemanakan ke time zone, bakar ikan sama mamak tercinta :* saudara saudara dan istri istrinya (istri saya mana?) sama anak anaknya (anak saya mana?) dan semua semuanya. Semoga keluarga kami akan berkumpul juga di syurga kelak. Amin !!!



Dan malamnya pun kembali bersama bus pesanan yang mengantarkan kami kembali ke daerah asal dengan tidur lelap. Dan ada cerita lucu lagi disini, pas lagi nyenyak nyenyaknya tidur. Mamahnya Nabil, tiba tiba teriak, karena bus oleng “Woi, pak supir kenapa, Pak supir kenapa? (dengan dialek dan ekspresi kaget, pake berdiri lagi). Saya dan beberapa penumpang lain keheranan. “Zonkkk”.  Hahah. Tapi langsung ketawa karena bus dan pak supir tidak apa apa. Katanya dia mimpi dan itu wujud ekspresi dari mimpinya. Sudahlah.

Dari pukul 22.30, akhirnya bisa tiba di Maros dengan selamat sentosa, menghantarkan sagu yang harus dipikul sendiri. Dan kembali ke rutinitas hari senin. SENIN.



Terima kasih untuk perjalanan 27-29 Januari bersama keluarga kali ini.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Like this ya